Tipologi Pemahaman Hadits Tekstual dan Kontekstual

Haris Fauzi
9 min readFeb 23, 2019

--

Hadis Nabi ~ Sumber gambar: Instagram SadButHighKlub

Hadits Nabi sebagai sumber hukum islam ke dua setelah al-Qur’an , pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas — ayat ayat Al quran dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi.

Dengan demikian hadis merupakan interpretasi Nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat- ayat Al quran. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk — petunjuk yang diberikan Nabi berbeda pula. Pada sisi lain,para sahabat pun memeberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadis Nabi. Dari sini, maka hadis pada umumnya bisa bersifat temporal dan kontekstual.

Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis nabi sebagian terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Karena itu pemahaman atas hadis Nabi merupakan hal yang mendesak tentu dengan acuan yang dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Karena itu upaya atau pekajian terhada konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan di amalkan.

Pemahaman Hadits

Secara garis besar ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis:

1. Pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya — ahistoris -.Tipologi ini dapat disebut Tekstualis. Atau menurut suryadi tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memmahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya,pemikiran-pemikiran ulama ulama terdahulu difahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis [1]

2. Pemahaman kritis dengan memepertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis. Tentu saja mereka memahami hadis secara kontekstual. Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1. bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; 2. situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian[2]. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadis. Dalam bahasa Arab digunakan istilah ‘alaqoh, qarinah,syiyaq al-kalam, dan qarain al-ahwal[3].

Berkaitan dengan pemahaman dengan pendekatan kontekstual, para sahabat Nabi sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup. Apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat terhadap hadis “jangan kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah” (di dalam peperangan Al Ahzab). merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah gelap. pendekatan tekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat haruslah diakui masih dalam tahap sederhana.

Contoh lain ketika Nabi bersabda” Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang tangannya di antara kalian” mendengar ucapan rosul ini, para istri beliau ada yang memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat fenomena ini Aisyah berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi yang lain) saling memanjangkan tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang paling panjang tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang cepat menyusul rasul. Padahal Rasul tidak bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya(Banyak melakukan kebaikan). Dalam hal ini ternyata isteri Nabi yang paling pertama menyusul adalah Zainab binti Jahsy, seorang wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah.

Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami hadis berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi s.a.w hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.

Dasar-dasar Tekstualisasi dan kontekstualisasi

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad alasan alasan tersebut adalah[4]

1. masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad s.a.w,bukan sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabakan sebagianya bersifat tipikal. Misalnya pranata dzihar “انت علي كظهر أمي” (bagiku engkau bak punggung ibuku). yang ungkapan tersebut hanya berlaku bagi konteks budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya beda.

2. Dalam keputusan Nabi sendiri telah memeberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”.Misalnya tentang ziarah kubur,yang semula dilarang karena kehawatiran terjebak kepada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.

3. Peran sahabat sebgai pewaris Nabi-yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati hadis Nabi dengan risalah yang diembannya-telah mencontohkan kontekstualisasi nash(teks).Misalnya Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.

4. implementasi pemahaman terhadap nash(teks)secara tekstual sering kali tidak sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi reason d”etre kehadiran islam itu sendiri.

5. pemahaman tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendi

.6. pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash ber

guna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan denagn kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spessifik yang baru.

7. penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks islam secara kontekstual.sebagai tradmark islam-al islamu din al- aqli wa al-fikru(islam itu agama rasional dan intelaktual)

8. kontekstualisasi pemahaman teks-teks islam mengandung makna bahwa masyarakat dimana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh islam yang di buktikan dengan sikap khasnya yang akomodatif terhadap pranata sosial yang ada(mashlahat),yang terumks-tekuskan dalam kaidah “al ‘aadatu Muhkamatun.(tradisi itu dipandang legal).

9. keyakinan bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa,mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas tesebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya,yang harus terus menerus dilakukaneksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.

Batas-batas Tekstualisasi Dan Kontekstualisasi

Batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu:

1. Dalam ibadah mahdhoh(murni) .

Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid’ah.

2. Bidang diluar ibadah murni.

kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya)[5].

Sedangkan menurut Suryadi(makalah Dr. Nurun Najwah, M.Ag.2005) batasan batasan Tekstual (normative) meliputi:

1. Ide moral /ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat dari balik teks yang sifatnya universal,lintas ruang waktu danintersubyektif.

2. Bersifat absolute, prinsipil, universal, fundamental.

3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asyaroh bil ma’ruf.

4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal. Artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah dan beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “ bagaimana cara muslim melakuakan shalat, sangat bergantung pada konteks sipelakunya.Maka tak heran banyak khilafiyyat pada tataran praktisnya.

Adapun batasan-batasan kontekstual( historis ) mencakup:

a. Menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secar tekstual.Dalam hal ini tidak seseorang untuk mengikuti secara saklek(apa adanya. Sehingga bila ingin mengikuti Nabi tidak harus berbahasa Arab, memberi nama arabisme berpakaian gamis ala timur tengah dan sebagainya.karena itu produk budaya yang tentu secara dzahir antara setiap wilayah bebeda.

b. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan bioligis. Jika rasulu llah makan hanya menggunakan tiga jari, maka kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena kontek yang dimakan rasulullah kurma atau roti, sedangkan bila kita makan nasi dan sayur asem harus tiga jari betapa malah tidak efektifnya. Ide dasar yang dapat kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini adalah bagaimana makan makanan yang halal dan baik, tidak berlebihandan denagn akhlak yang baik juga.

c. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana manusia berhubungan dengan sesama.alam sektar, binatang adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana riwayat hadis Nabi” Antum a’lamu bi umuri dunyakum. Ide dasar yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada sang pencipta.

d. Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial , politik, ekonomi dan budaya yang sedemikian kompleks. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak bisa di jadikan parameter.

Untuk memahami hadis dengan tekstual ataupun kontekstual kita bisa melihat dari sisi matan hadis, yang mana ungkapan matan hadis mempunyai beberapa corak atau model, di antaranya:

a. Jawami’ al kalim (ungkapan singkat namun padat maknanya).

Contoh:

اَلْحَرْبُ خُدْعَـــــــــــة

Artinya : perang itu siasat( hadis riwayat al-Bukhori,Muslim dan lain-lain, dari jabir bin ‘Abdullah).pemahaman terhadap hadis tersebut sejalan dengan teksnya,yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.

وَكُلُّ مُسْـــكِرٍ حَـــرَامٌ كُلُّ مُسْـــكِرٍ خَمْرٌ

Artinya : Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Al-Bukhori,Muslim dan lain-lain dari ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat muslim.Hadis tersebut secar tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khomar tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan dakwah,dispensasi kepada orang orang tertentu diperbolehkan.

b. Bahasa tamsil.(perumpamaan)

contoh:

الَدُّنْيَا سِجْنُ اْلمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ اْلكَافِرِ

Artinya: dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. (Hadis riwayat Muslim, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal, dari Abu Hurairah). Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas adalah pemahaman secara kontekstual,bahwa kata penjara dalam hadis itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran,disamping ada larangan berupa hukum haram dan makruh. Ibarat penghuni penjara maka dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini adalah surga, sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan larangan.

c. Ungkapan Simbolik

الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مِعًى وَاحِدٍ وَاْلكَاِفرُ يَأكُلُ فِيْ سَبْعَةِ أَمْعَـــاء

Artinya: Orang yang beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.(Hadis riwayat al-Bukhori, al-Turmudzi, dan ahmad, dari ibnu Umar.

Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan usus orang kafir . padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabakan oleh perbedaan iman. Dengan demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu harus dipahami secara kontekstual.yaitu menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin memandang makan bukan tujuan hidup sedang orang kafir memandang makan adalah sebagian dari tujuan hidup. (Syuhudi ismail,1994:17)

d. Bahasa Percakapan (Dialog).

Seperti empat macam matan hadis yang menjelaskan amal-amal yang lebih utama atau lebih baik itu ternyata banyak.(Syuhudi ismail:1994:18–20)

e. Ungkapan analogi

Seperti sebuah matan hadis yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual ( kepada wanita yang halal ) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu, para sahabat bertanya “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri kami) mendapat pahala ?” Nabi menjawab : Bagaiamanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang ) disalurkannya di jalan haram, apakah (dia) menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurakn kejalan yang halal,dia mendapat pahala. (Hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar).

Analoginya kalau penyaluran hasrat seksual secara haram adalah perbuatan dosa, maka penyaluran hasrat seksual merupakan perbuatan yang diberi pahala.

Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan.

Sedangkan penerapan dan pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan bila “dibalik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat).[6]

Dapat disimpulakan bahwa pemahaman hadis secar tekstual adalah pengambilan informasi atau pesan sesuai dengan intensitas informasi yang tesurat pada teks hadits. Sedangkan pemahaman kontekstual adalah pengambilan informasi atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat pada teks hadits saja, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan yang diharapkan oleh sang mutakallim (Nabi Muhammad SAW).

Sebuah hadits dipahami secara tekstual karena pada dasarnya secara jelas dan gamblang teks atau redaksinya sudah menginformasikan pesan dan informasi yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW secara gamblang. Dalam memahami hadits yang seperti ini tidak membutuhkan usaha keras seperti penggalian informasi pendukung lain di luar teks hadits tersebut, karena seluruh makna dan pesannya sudah dicermikan oleh redaksinya.

Di sisi lain ada juga hadits-hadits yang menuntut untuk dipahami secara kontekstual, hal ini dikarenakan hadits tersebut tidak dapat dipahami dan diamalkan dengan baik jika dipahami secara tekstual saja. Oleh karena itu membutuhkan banyak informasi dan pendukung lain di luar redaksi hadits tersebut untuk memahami dan kemudian dapat diamalkan dengan baik dan tepat.

Pada dasarnya permasalahan pemahaman hadits baik secara tekstual atau kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya sehingga hadits tersebut dapat diamalakan sesuai dengan yang diharapkan oleh Nabi sesuai dengan perintah Allah, dan bukan merupakan keinginan pribadi maupun emosi saja apakah suatu hadits hendak dipahami secara tekstual atau kontekstual.

Dengan demikian berarti ada hadis yang harus difahami secara tekstual saja. disisi lain ada juga hadis yang kandungan petunjuknya mengarahkan pada pemahaman kontekstual, serta ada pula yang dapat difahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Melihat bahwa Nabi sangat memeperhatikan situasi sosial budaya yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan kontekstual atas hadis Nabi terus dikembangkan. Tetapi, ini hanya terhadap sebagian hadis-hadis Nabi yang difahami sebara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.

Catatan Kaki

[1] Suryadi,Rekonstruksi Metodologis pemahamn Hadis 2001

[2] Debdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1998

[3] Imam Basyari Anwar,Menolak yang perlu Ditolak1987:hal216 )

[4]M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan perubahan dalam ajaran islam,Jurnal At tahrir 2004:168–169)

[5] Ibid

[6] H.M. syuhudi Islam, Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,1994)

--

--

Haris Fauzi
Haris Fauzi

No responses yet