Tafsir Jamiul Bayan Min Khulasat Suwar Al Quran Al Adzim Karya Muhammad bin Sulaiman bin Zakariya Solo

Haris Fauzi
8 min readOct 3, 2021

Dalam sejarahnya Al-Qur’an turun dalam bentuk yang utuh dan murni dengan menggunakan bahasa Arab dan penjelasan yang masih bersifat umum. Sehingga ketika Al-Qur’an ini menyebar luas dan Nabi Muhammad wafat maka para penafsir Al-Qur’an pun bermunculan untuk memberikan penjelasan secara ilmiah, logis dan runtut bersama sejarahnya.

Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengan atau mereka baca itu.[1]

Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga,yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2] Di Indonesia banyak karya tafsir ini yang pernah di bukukan dan sudah dikenal luas di masyarakat antara lain, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Tafsir Qur’an, Tafsir Al-Bayan, Tafsir An-Nur, Tafsir Al-Azhar dan masih banyak lagi.

Semua karya tafsir yang pernah dihasilkan ini merupakan karya tafsir yang menjadi bahan rujukan ummat Islam khusunya di Indonesia yang mampu memberikan titik terang tentang isi kandungan Al-Qur’an. Sehingga rasa ingin tahu masyarakat tentang karya tafsir ini pun semakin berkembang sebagai upaya untuk menambah keilmuan khususnya tentang Al-Qur’an.

Salah satu karya tafsir yang akan dijelaskan pada kesempatan ini adalah Kitab Tafsir Jami’ Al-Bayan Min Khulasat Suwar Al-Qur’an Al-Adzim Karya Muhammad bin Sulaiman bin Zakariya Laweyan Solo.

A. Biografi dan Karya Muhammad bin Sulaiman

Muhammad bin Sulaiman terlahir di Solo pada 14 syawwal 1329 H. Pada waktu kecil sering dipanggil Muhammad Tholhah. Beliau diajar lansung oleh bapaknya sendiri tentang mengaji Al-Qur’an, Muhammad ketika berusia 16 tahun diajak bapaknya berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1345 H. Mereka sempat bermukim kurang lebih 2 tahun di Makkah, ketika disana Muhammad kecil menghafal Al-Qur’an sampai surat an-Nisa. Pada tahun 1347,

Muhammad atas perintah bapaknya pergi menimba ilmu di Pondok Pesantren Tremas yang waktu diasuh oleh Syaikh Dimyathi bin Abdullah Tremas dan mampu menyelesaikan hafalannya selama dua tahun. Kemudian di tahun 1348 H meneruskan khataman tabarruk bil ghoib di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dengan Syaikh Munawwir bin Abdillah Rasyad. Beliau pada tahun yang sama telah mendapatkan ijazah hafalan dari dua pengasuh pondok pesantren.

Beliau juga pernah merasakan aroma di Pondok Pesantren Jombang dan mengikuti kajian Kitab Shahihain dari Syekh Hasyim Asy’ari pada tahun 1351 H. Kemudian beliau berangkat menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1352 H. Ketika di Tanah Suci Makkah, Muhammad juga bertemu dengan Mufti Maliki Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki dan meriwayatkan beberapa hadis al-musalsal bil-awwaliyah dari syaikh tersebut.

Kemudian Muhammad berangkat menuju Madinah dan bertemu dengan Mufti al-Madinah yang ahli dalam bidang hadis dan syaikh Ibrahim bin Abdul Qadir Barri al-Madani. Lalu pada tahun 1353 H, Muhammad berjumpa dengan Sayyid Muhsin bin Abdullah Assegaf, ahli sufi di Solo. Beliau mengaji Al-Qur’an kepadanya satu khataman dan meriwayatkan darinya beberapa hadis musalsal bil-awwaliyah, hadis musalsal bil-mushafahah, dan hadis musalsal bil-musyabakah.[3]

Pada tahun 1357 H, Muhammad mempersunting Hj. Saudah, putri dari Ahmad Shafawi Pendiri Pondok Pesantren Al Muayyad Solo dari istri yang pertama. Pernikahan beliau ini dikaruniai 7 orang anak, 1 orang pria dan 6 perempuan. Namun pada tanggal 7 september 1991 M, Muhammad berpulang ke Rahmatullah di rumah sakit Solo dan dimakamkan di Makam Pulo, Laweyan, Solo.

Muhammad telah menelurkan beberapa karya penulisan yang berkaitan dengan bidang yang beliau tekuni, diantara lain Al-Burhan ‘ala Wahy al-Quran, Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an, Manaqib Imam Syafi’i, Asma’ul Husna dan syarahnya, Keutamaan Al-Qur’an dan Manasik Haji.[4]

B. Motivasi Penulisan Kitab Tafsir Jamiul Bayan Min Khulasat Suwar Al-Qur’an Al-Adzim

Kitab tafsir ini dalam muqadimatnya, Muhammad menyampaikan bahwa dalam menuliskan tafsir untuk sebagai catatan amal dan pengingat bagi pengarang atau fa hadzihi majmuatun min khulashati suwari al-Qur’an al-Karim jama’tuha tadzkiratun li nafsi.

Kemudian untuk mempermudah bagi individu mempelajari Al-Qur’an tanpa susah payah dan lamanya durasi, karena begitu cepatnya perputaran waktu hari ini untuk mengakomodasi semangat dan antusias untuk mengikuti kandungan ilmu dan hikmah yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang di mana keadaan ini bertolak belakang dengan keadaan masa lampau atau li man ’arada al-wuqufu ’alaiha bi ghairi kibari ’ina’i wa thulli waqti waqfan li ’ashri al-hadir aladzi taqasharat fihii al-hamam ’an tatabi’a maa fi hadza al-wahyu al-karim min ’anwa’i al-uluum wa al-hikam khilafa maa kaana fii al-waqti al-ghabir.[5]

C. Gambaran Tafsir Jamiul Bayan Min Khulasat Suwar Al-Qur’an Al-Adzim

Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an setiap kali masuk bulan ramadhan dibaca oleh KH. Muhammad Shofy Mubarok dan dikaji oleh santri di Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin. Pihak Pondok Sirojuth Tholibin Brabo Jawa Tengah memiliki andil yang begitu besar dalam penulisan dan pengkondifikasian menjadi suatu kitab yang tersusun secara rapi dan tidak terkumpul sebagai kumpulan lembaran yang tercecer. Penulisan kitab masih konvensional dan tidak menggunakan mesin komputer untuk memudahkannya. Namun malah menggunakan tulisan tangan seorang ahli khat untuk menulis penafsiran kitab tersebut.

Sungguh sangat ironis, kitab tafsir Nusantara yang begitu kaya tersingkir di mata para pengkaji. Ini menjadi bukti bahwa upaya mengenalkan produk Kitab Tafsir Nusantara masih begitu minim dan jarang untuk diteliti oleh bangsa Indonesia sendiri. Kita sebagai pengkaji Al-Qur’an harus melihat peluang untuk lebih gigih nguri- nguri produk lokal tak terkecuali kitab tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an khususnya dan kitab tafsir di Indonesia umumnya.

Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an ini kitab tafsir yang penafsirannya lengkap memuat 30 juz dimulai surat al-Fatihah sampai surat al-Nas. Kitab tafsir ini terdiri dari dua juz saja dengan terbitan Pustaka Sirojuth Tholibin Brabo Jawa Tengah. Jikalau kita melihat secara seksama dari judulnya saja, kita bisa putuskan bahwa kitab ini menjelaskan intisari dari ayat ataupun surat al-Qur’an.

Muhammad hanya mengambil beberapa pokok pembahasan yang terdapat di dalam suatu ayat-atau beberapa ayat. Sehingga, kitab ini tidaklah kitab tafsir yang menjelaskan penafsiran berbagai ayat al-Qur’an secara panjang lebar dan berkaitan dengan disiplin keilmuan yang lainnya.

a. Karakteristik Tafsir

Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an secara fisik berjumlah 2 jilid besar yang memuat seluruh juz dalam Al-Qur’an. Juz pertama terdiri dari muqadimah dari pengarang kemudian dilanjutkan penafsiran dari ayat pertama surat Al-Fatihah sampai surat An-Nahl ayat 128, juz pertama berjumlah 663 halaman. Sedangkan juz kedua dimulai dengan surat Al-Isra dan diakhiri dengan surat An-Nas, Juz kedua berjumlah 681 halaman dan di akhir buku dicantumkan sanad Al-Quran dari Muhammad bin Sulaiman bin Zakariya dari guru-gurunya.

Kitab tafsir ini menafsirkan semua surat dalam Al-Qur’an berdasarkan urutan mushaf usmani tidak berdasarkan kronologis turunnya ayat. Mufassir menggunakan bahasa arab dalam menyampaikan isi penafsiran walaupun berkenegaraan Indonesia. Dalam menguraikan pokok-pokok tafsir mengawali dengan penomoran di setiap penafsiran ayat kemudian mencamtumkan kata bayan dipermulaan penafsiran yang diberikan. Kemudian mengakhiri penafsirannya dengan kata Allahu ’Alam.

Dalam muqadimah-nya Muhammad mengutarakan bahwa mengapa memakai kata tersebut, dikarenakan berbagai penjelasan di dalam tafsirnya adalah petunjuk ayat-ayat yang diberikan Allah melalui kalam-Nya. Apabila ia menganggapnya benar, maka hal itu adalah bentuk karunia-Nya, dan jika sebaliknya, maka itu adalah kurangnya pemahaman dari penafsir.

b. Kecenderungan Corak Tafsir

Setiap produk tafsir Al-Qur’an memiliki corak yang berbeda dalam menafsirkan, tak terkecuali dalam Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an. Penafsiran Muhammad dalam tafsirnya memiliki kecenderungan berupa menjelaskan secara umum permasalahan yang terjadi di sekitarnya dengan penjelasan singkat yang diberikan.

Muhammad bin Sulaiman memiliki kecenderungan menggunakan corak Adabi Ijtimai, walaupun hampir sama sekali tidak mencantumkan secara rinci kajian sastra atau kebahasaan.

Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an berusaha merespon gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat dengan bahasa yang singkat dan lugas. Penafsir meninggalkan bahasa yang bertela-bertele langsung ke poin yang akan dikritisi atau dikomentari.

Penafsir mencoba menyelesaikan permasalahan aktual yang tengah terjadi dan mengembalikannya ke dalam koridor qurani. Mencarikan korelasi kejadian dan persesuaiannya dengan penafsiran ayat Al-Qur’an. Tentu ini bukan perkara yang mudah untuk menjadikan Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan.

c. Sumber Penafsiran

Kitab Tafsir Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an tentunya merujuk kitab-kitab tafsir sebelumnya, diantaranya:

1. Kitab tafsir Anwarul at-Tanzil wa Asrarul at-Ta’wil karangan Syaikh Abi Said Abdulllah bin Umar al-Baedlowi.

2. Kitab tafsir Lubab Takwil fi Ma’anani Takwil karya Syaikh Ali bin Muhammad Al-Baghdadi atau yang dikenal Al-Khazin

3. Kitab tafsir Madarikul Tanzil Wa Haqaiqu Takwil karya Abi al-Barakah Abdullah bin Ahmad atau yang dikenal An-Nasafi.

4. Kitab tafsir Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibn Abbas karya Syaikh Abi Thahir Muhammad bin Yakub al-Fairuz Abadi

5. Kitab tafsir Jalalalain karya Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurahman bin Abu Bakar as-Suyuthi.

6. Kitab hasyiah Syaikh Sulaiman Jamal dan Ahmad Shawi terhadap kitab tafsir Jalalain.

7. Kitab Hasyiah Syaih Zadah terhadap kitab tafsir Baidhowi

8. Kitab tafsir Al-Qur’an Al-Adzim karya Syaikh Ismail bin Katsir Ad-Dimasqy

Ketika penafsir memberikan penafsiran dari nukilan-nukilan kata demi kata, terkadang juga mengambil maksud dari ayat yang sedang dijelaskan dengan ditambahi penjelas secukupnya. Penafsir cenderung memberikan redaksi penafsiran baru untuk ayat-ayat yang ditafsirkan, oleh karenanya Muhammad bin Sulaiman mengedepankan aspek rasio untuk proses penafsirannya walupun dalam tataran garis besar pokok pembahasan atau yang kita kenal dengan tafsir bi ra’yi dalam kajian tafsir.

d. Metodologi Penafsiran

Kita tentu sudah mengenal berbagi macam metode yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur’an di Indonesia. Metode yang digunakan tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh para mufassir lainnya yaitu: Metode Ijmali (Global), Metode Tahlily (Analisis), Metode Muqarin (Komparatif ) dan Metode Mawdhu’i (Tematik). Namun dari sekian metode tentu memiliki ciri khas dan corak yang berbeda-beda.[6]

Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu: pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul.[7]

Penafsir dalam buku tafsirnya dominan menggunakan metode ijmaliy bukan metode tahlili dalam menafsirkan ayat. Metode ijmaly[8] merupakan metode yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.

Contohnya bisa kita lihat di penafsiran surat Al-Fatihah sebelumnya, penafsir menafsiri secara keseluruhan ayat-ayat dan surat-surat berdasarkan urutan mushaf usmani untuk menuangkan gagasan demi gagasan otentik dari penafsir.

[1] Muhammad Husain Al-Zahabity, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Mesir, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961), Jilid I, hlm. 59

[2] Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir, Al-Kutub Al-Haditsah, 1957) Jilid II. hlm. 164

[3] Muhammad bin Sulaiman, Jami’ al-Bayan min Khulasat Suwar al-Qur’an, Jilid 1. (Brabo, Pustaka Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin, tt), hlm 2.

[4] http://www.thohiriyyah.com/2009/10/kh-muhammad-bin-sulaiman-ulama-ahli-tafsir-dari-solo.html. Diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 12. 22

[5] Opcit, hlm. 1

[6] Dr. Abdul Hay Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, (Kairo, Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1977), Cetakan II, hlm. 23

[7] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), (Jakarta, Teraju, 2003), Cet. I, hlm. 196.

[8] Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), hlm. 67

--

--