Pengalaman Menyusun Berita

“When a dog bites a man that is not a news, but when a man bites a dog that is news”
Tahun 1882, Charles A. Dana, pakar jurnalistik, berkelakar mengenai definisi berita seperti uraian di atas. Perumpamaan itu nampaknya sengaja digunakan Charles guna memudahkan mendefinisikan berita (dalam bahasa Inggrisnya, news) agar orang keluar dari jebakan definisi berita yang berbelit-belit dan menjemukan. Tetapi di kemudian hari orang mulai menggugat perumpamaan itu. Bagaimana seandainya yang digigit anjing adalah tokoh terkenal, seperti Mr. Bush Junior, pak SBY, pak Hasyim Muzadi, atau Pak Ali Mufiz? Tentu akan lain cerita!
Tetapi bagi saya, berkutat pada definisi berita hanya akan membuat kita lelah. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti, jarang sekali diberikan ulasan mendalam mengenai definisi berita, apalagi dikasih pengertian yang ndakik-ndakik. Yang terpenting adalah apa-apa yang menjadi indikator bagi kejadian/fakta itu dianggap berita. Secara berurutan ingin saya tuliskan di sini; laporan, informasi, baru, benar, tidak memihak, fakta, arti penting, dan menarik perhatian umum (Dr. H. Sam Abede Pareno, MM). Indikator-indikator ini minimal harus kita patuhi dan penuhi untuk masuk dalam frame sebuah berita (news); hukumnya fardhu ‘ain.
Selanjutnya, kerja menjadi jurnalis, tidak dapat dikatakan “berhasil”, kecuali dengan pompaan semangat yang tinggi. Satu hal ini memang tidak terkait aspek teknis pembuatan sebuah berita; melainkan aspek kinerjanya yang sangat “subjektif”. Namun bagi saya, semangat adalah modal utama bagi siapapun untuk menjadi jurnalis karena di dalamnya akan terbentuk individu yang “pantang menyerah”; karena proses menjadi jurnalis adalah proses yang panjang dan di satu sisi melelahkan.
Terus terang, saya harus menyepakati beberapa larik uraian dalam novel Jalan Sunyi Seorang Penulis (2005) karya Muhidin M. Dahlan. Sebuah pelatihan jurnalistik -atau apapun namanya-, dalam novel itu, yang terpenting adalah bagaimana menggugah semangat para pesertanya untuk menjadi jurnalis handal. Sehingga, bukannya teori tidak penting, akan tetapi eksplorasi pengalaman fasilitator –di bidang jurnalistik- yang lebih penting. Karena membuka dunia jurnalistik dengan teori dan mengakhirinya dengan teori pula adalah sesuatu yang “membosankan”.
volume yang tinggi hingga suara narasumber nyaris tak terdengar. Atau ada juga teman saya yang “dikerjai” oleh narasumber dengan mengatakan tidak mau diwawancara. Tentu itu hal konyol tetapi penuh dengan hikmah. Karena itulah, persiapan teknis dan mental sangat dibutuhkan bagi seorang pencari berita.
Saya akui, apa yang saya tulis di sini merupakan hasil refleksi pribadi yang tentunya subjektif karena berangkat dari pengalaman selama saya mencoba menjadi jurnalis; hingga saat ini. Yang paling penting dalam menulis berita adalah berani mencoba. Tentunya percobaan itu harus disertai pengetahuan yang cukup tentang penyusunan berita. Persoalan hasil laporan yang agak baik atau baik itu urusan belakangan.
Ini seperti berenang. Kalau ingin mahir berenang, maka terjunkan diri kita di air. Kalau sekadar berangan-angan dan berimajinasi tentang berbagai gaya renang, mustahil kita bisa berenang sebagaimana yang dilakukan bebek.
Selama pendidikan jurnalistik hingga saat ini, perkenalan awal tentang sebuah berita biasanya menyangkut unsur berita yang memuat 5W (Who, What, Where, When, Why) +1H (How). Unsur-unsur ini wajib ada dalam sebuah berita. Tidak boleh tidak. Mungkin asumsinya sederhana, masing-masing dari jawaban pertanyaan itu secara alamiah dan naluriah akan ditanyakan orang ketika sebuah peristiwa atau fenomena terjadi. Dan tugas wartawawan atau reporter untuk memberikan jawabannya.
Dari jawaban tiap unsur itu kita memiliki bahan untuk merangkai kata menyusun berita. Tanpa itu kita tidak bisa apa-apa. Maka makin banyak pertanyaan yang kita ajukan dan detail, maka bahan untuk menulis berita akan makin banyak dan tentunya mendalam.
Dalam teori-teori jurnalistik, menulis berita setidaknya perlu ada sistematika; title, lead, body, dan ending. Terus terang, saya tidak terlampau ambil pusing dengan sistematika semacam ini. Bagi saya yang terpenting adalah unsur-unsurnya terpenuhi.
Tetapi saya tetaplah ingin mengeksplor beberapa pola bangunan berita. Materi ini saya peroleh dari kuliah jurnalistik yang saya ikuti beberapa waktu lalu. Saya ingin menguraikannya sesuai dengan apa yang saya pahami.
(a) Model piramida terbalik: menyusun berita diawali dari sesuatu yang paling menarik di awal penulisan, dan diakhiri dengan sesuatu lebih detail sesuai dengan penjabaran masing-masing.
(b) Model piramida tegak: menempatkan sesuatu yang penting di akhir penulisan berita.
© Model paralel: menulis berita dengan menyamaratakan berbagai aspeknya, dan
(d) Model kronologis: menulis berita sesuai dengan urutan kejadian/peristiwa.
Sebenarnya, bagi saya, jika kita sudah benar-benar di hadapan komputer dan siap menulis berita, rasanya susah untuk memagari diri dalam salah satu pola bangunan berita itu. Setiap orang pasti memiliki pandangan yang berbeda tentang sesuatu yang dilihat, dirasakan, dan dicernanya. Mungkin bagi kita sesuatu itu penting, tetapi tidak bagi orang lain; begitupun sebaliknya. Sebab itulah, ada berbagai jenis berita karena dibedakan dari sisi penulisan model dan pemenuhan unsur-unsur 5W+1H.
Dari beberapa pelatihan yang saya ikuti jenis penulisan itu setidaknya ada 3 tingkatan (lihat Abede Pareno: 2003):
(a) straight news: berita yang padat dan lengkat, serta memenuhi unsur 5W+1H. Dari jenis ini ada soft news (berita ringan) dan spot news (berita sangat singkat). Jenis penulisan berita ini dalam prosentase besar yang disajikan dalam koran-koran harian.
(b) In depth reporting: jenis ini memiliki tingkat kedetailan berita kelas “menengah”. Atau bisa jadi, berita yang ditulis agak panjang dan mengungkap sebagian dari fakta yang terjadi. Biasanya digunakan di majalah-majalah.
© Investigative news: jenis ini memiliki tingkat kedetailan berita kelas tinggi. Untuk penulisan berita ini, seseorang biasanya bertindak seperti “mata-mata” untuk kasus atau peristiwa yang sedang ingin dikupas tuntas.
Selain penyajian melalui ketiga jenis itu, berita terkadang ditulis dengan jenis penulisan features. Penulisan ini lebih mengedepankan human interest bagi pembaca. Sehingga features boleh dikatakan sebagai penulisan dari “sisi yang lain” yang bahkan terkadang “sepele” tapi “menarik”. Penulisan model ini dipakai untuk memantik minat pembaca terhadap laporan peristiwa yang disajikan. Gaya ini terkadang dipraktikkan oleh media nasional seperti Kompas dalam penulisan beritanya. Bahasa-bahasa yang dipakai dalam penulisan ini terkesan santun tetapi tanpa mengurangi bobot peristiwanya. Di kemudian hari, perkembangan penulisan ini dikonklusikan melalui jurnalisme sastrawi.
Terakhir, saya hanya ingin kembali meneguhkan; bahwa menyusun atau menulis berita hanya bisa ditempuh dengan kesungguhan, tekad, semangat dan dasar teori yang cukup. Itu saja. Percayalah; man jadda wajada.