Pemikiran Ibnu Rusyd tentang Agama dan Filsafat
Semua muslim meyakini Al-Qur’an sebagai sumber dasar ajaran islam, syariat terakhir yang memberi petunjuk arah hidup manusia.
Berdasarkan pernyataan tersebut, umat islam berkewajiban untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan agama islam. Kita tidak hanya berharap selamat menjalani hidup di dunia, namun juga meraih kebahagian sejati di akhirat kelak.
Meski demikian, keyakinan saja tidak akan mencukupi. Al-Qur’an sebagai petunjuk tidaklah proaktif memberikan petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memberikan dan membuat Al-Qur’an aktif berbicara sehingga ia berfungsi sebagai petunjuk.
Supaya Al-Qur’an proaktif memberikan petunjuk kepada umat manusia ke arah jalan yang benar, para pemikir melakukan pembacaan terhadapnya untuk memperoleh pesan petunjuknya. Meski memiliki tujuan yang sama, pembacaan tersebut tidak lantas dengan sendirinya melahirkan pemahaman yang sama terhadap teks Al-Qur’an. Ketidaksamaan tersebut tidak saja disebabkan perbedaan latar belakang sosial mereka, melainkan juga pendekatan yang dipakai dan ideologi yang dipakai.
Selama ini kita kerap kali menemukan pembedaan atau dikotomi ilmu menjadi dua kutub besar, yaitu ilmu agama dan agama. Hal ini bisa kita gali bersama dengan bagaimana Ibnu Rusyd menjelaskan dan memadukan dua kutub besar disiplin keilmuan bersama-sama, jikalau kita melihat dari literatur yang telah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd, kritiknya justru berfokus dalam mengomentari pemikir lain yang sezamannya secara filosofis[1], mengkritik cara baca mereka terhadap teks Al-Qur’an
Ibnu Rusyd vis a vis dengan Al-Ghazali tentang Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd menulis kitab Tahafutul Tahafut untuk meng-counter kesalahan dan sanggahan terhdap pemahaman Al-Ghazali yang ditulis dalam kitab Tahafut Falasifah. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, kritik Al-Ghazali yang menjadikan pandangan Ibnu Sina dan Al-Farabi dianggap tidak tepat.
Pemahaman kedua tokoh tadi terhadap filsafat Aristoteles dan Plato, dipandang Ibnu Rusyd sudah keluar jalur dari sumber aslinya serta mencampuradukkan antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Plato. Lebih parah lagimereka menisbatkan beberapa pendapatnya pada Aristoteles yang bukan pendapat Aristoteles.[2]
Kesalahan selanjutnya yang dilakukan oleh Al-Ghazali adalah mengeneralisir kepada semua filusuf. Kita bisa lihat dalam judul yang digunakan dalam karya Tahafut Falasifah. Seharusnya Al-Ghazali menspesifikasikan kitabnya dalam bingkai Tahafut Ibnu Sina atau Tahafut al-Farabi sebagai konsekuensi logis referensi utama yang digunakan Al-Ghazali pada kedua filsuf muslim tersebut.[3]
Pemikiran Ibnu Rusyd bertumpu dalam beberapa hal besar, diantaranya berfokus dalam menghilang kerancuan dalam pemikiran Aristoteles dari penyimpangan yang dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina dan menyanggah kritik Al-Ghazali terhadap filsuf yang hanya mendasarkan diri pada kitab karangan al-Farabi atau Ibnu Sina. Selain itu Ibnu Rusyd juga mengkonseptualisasi teoritik literalisme sebagai penolakan terhadap metode para ahli kalam, aliran dhahiriah dan kaum sufi dimana mereka seringkali berkutat dalam wacana hubungan agama dan filsafat saja. [4]
Untuk memberikan alternatif pandangan pemisahan filsafat dan agama, Ibnu Rusyd disini tidak dalam membela pilihan filsafatnya atau secara erat kedua intetitas tadi tidak saling bertentangan. Beliau berusaha memadukan antara pemikiran filsafat dan agama. Ibnu Rusyd menemukan bukti ayat-ayat yang berbicara yang akal sebagai sarana yang digunakan dalam mempelajari obyek tersebut dan tentang obyek ayat-ayat kauniyyah atau maujud yang diperintahkan untuk dipelajari secara mendalam.
Apabila manusia memiliki akal tidak menggunakan akalnya, maka tidak ada bedanya dia dengan hewan. keharusan penggunaan akal juga merupakan konsekuensi logis agar dia tidak sama dengan hewan. Dalam teka ayat keagamaan, kita menemukan ”Apakah mereka tidak memperhatikan segala yang ada di langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah”. Ayat tersebut tentu berbicara tentang keharusan penggunaan daya akal manusia untuk diarahkan pada sesuatu yang nyata dalam kehidupan.
Kita tentu bisa menemukan hubungan relasional antara filsafat dengan teks keagamaan dalam keharusan pendayagunaan akal dan obyek yang menjadi target berpikirnya akal. Dalam pandangan Ibnu Rusyd[5] mengatakan bahwa,
“Jika aktivitas filsafat adalah mempelajari semua yang ada dan merenunginya sehingga pada akhirnya pengetahuan itu mengantarkan seseorang mengetahui adanya pencipta yakni dari segi bahwa semua maujud ini adalah ciptaanNya sehingga ia menjadi petunjuk adanya pencipta, maka semakin sempurna pengetahuan tentang yang ada semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta.”
Metode berpikir logis dalam pandangan Ibnu Rusyd adalah silogisme demonstratif. Filsafat adalah kerja akal, namun tidak semua kerja akal disebut filsafat. Kerja akal disebut berfilsafat jika dalam menggunakannya seseorang mengunakan metode berpikir yang memenuhi syarat-syarat logis pemikiran.
Ibnu Rusyd menganjurkan agar sebelum meyakini dan menggunakan metode silogisme demonstratif, seseorang harus mempelajarinya dengan teliti sehingga tidak akan bercampur dengan silogisme dialektika.
Oleh karena itu, wacana pemikiran yang Ibnu Rusyd bangun dapat kita pahami bersama bahwa agama dan filsafat merupakan dua hal yang berdiri sendiri, akan tetapi kedua disiplin keilmuan tadi saling menopang dan mendukung.
[1] Ignaz Goldziher, Madhahibal-Tafsir al-Islami, (Beirut, Dar Iqra’, 1983), hlm. 42. Ignaz Golziher tidak secara ekplisit mencantumkan term tafsir falsafi atau cara baca filosofis terhadap al-Qur’an dan paling banter hanya menyebut tafsir teologi Rasional.
[2] Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Turas wa al-Hadatsah : Dirasat wa Munaqasat, (Beirut, Al-Markz Al-Rasqfi al-Arobi, 1991), hlm. 203
[3] Muhammad Atif al-Al-Iraqi, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, terj. Aksin Wijaya, (Yogykarta, IRCISOD, 2003), hlm. 35
[4] Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arobi, (Beirut, Markaz al-Saqofi al-Arobi, 1991), hlm. 318
[5] Ibnu Rusd, Falsafah Ibnu Rusyd: Fasl al -Maqal wa al-Kasyfu, (Beirut, Markaz Dirasat al-Arabiyyah, 2002), hlm. 13.