Nashr Hamid dan Polemik Kitab Suci

Haris Fauzi
12 min readFeb 23, 2019

Sebagai kitab suci yang autentik dan sempurna,wajar jika Al-Qur’an diangggap sakral dan harus diterima dengan doktrin yang di dekati secara dogmatis-ideologis.

Kitab Suci ~ Sumber gambar: Instagram KomikFaktap

Namun, tentulah akan lebih memuaskan akal dan melegakan hati jika Al-Qur’an didekati dengan metodologi ilmiah-rasional. Untukitu ayat-ayat Al-Qur’an –terutama yang menimbulkan pemahaman ambigu (mutasyabihat)- harus mendapat “sentuhan” makna esoterik (ta’wil). Perangkat ta’wil ini melahirkan beragam interpretasi tentang implementasi kajian bahasa,dan diantara fokus kajian pemikir belakangan adalah wacana majas (metafora) vis a vis hakiki (denotataif). Di sinilah pentingnya penalaran terhadap Al-Qur’an.

Sebagai teks bahasa, Al-Quran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban arab Islam adalah peradaban teks. Artinya bahwa dasar ilmu dan budaya arab islam tumbuh dan berdiri tegak diatas landasan dimana teks sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata.

Sebab, teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di lain pihak. Peradaban dibentuk oleh interaksi dan dialektika manusia dengan realitas dengan segala struktur yang membentuknya: ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Sebagai teks bahasa, Al-Quran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban arab Islam adalah peradaban teks. Artinya bahwa dasar ilmu dan budaya arab islam tumbuh dan berdiri tegak diatas landasan dimana teks sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. [1]

Sebab, teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di lain pihak. Peradaban dibentuk oleh interaksi dan dialektika manusia dengan realitas dengan segala struktur yang membentuknya: ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Nashr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi Tantha Mesir Bagian Barat. Orang tuanya memberi nama nashr dengan harapan agar dia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan dengan Perang Dunia II. Pada tahun 1952, Mesir dilanda krisis kepemimpnan yang melahirkan Revolusi Juli, yakni pada tanggal 26 juli 1952, sekaligus peralihan status dari kerajaan menjadi republik dari tangan Raja Faruq ke tangan Jamal ‘Abd Nashr. Situsi Perang Dunia II,Revolusi juli, dan kehidupan keluarganya, telah membentuk kepribadiannya menjadi sosok yang kritis, penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Pada usia 14 tahun, yaitu setelah ayahnya wafat pada Oktober 1957, dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya untuk mampu menjaga seluruh keluarganya.

Saat berusia 8 tahun dia telah menghafal 30 juz.Nasr Hamid Abu Zaid menempuh pendidikan madrasah Ibtidaiyah di kampung halamannya pada tahun 1951. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah tehnologi di distrik Kafru Zayyad, propinsi Gharbiyah. Dia masuk di sekolah ini untuk memenuhi keinginan ayahnya untuk sekolah di kejuruan meskipun dia sangat ingin sekali melanjutkan studinya di al-Azhar. pada tahun 1968 dia kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Adab di Universitas Kairo dan tamat pada tahun 1972 dengan nilai cum laude (memuaskan).[2] Dia melanjutkan studi S2-nya di almamater yang sama dan berhasil menyelesaikan tesisnya dengan judul qadhiyat almajaz fi al-qu’an inda mu’tazilah dan berhasil dengan nilai yang memuaskan pada tahun 1976. Kemudian pada tahun 1981 dia meraih gelar doctor dari universitas yang sama dengan risalah desertasinya yang berjudul Ta’wilu al-Qur’an ’Inda Muhyiddi al Arabi dengan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan serta mendapat penghargaan tingkat pertama. Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat Highest Honous. Pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978–1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA.[3]

Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar penghormatan, diantaranya; 1975–1977 dari Ford Foundation Fellowship at the American University in Cairo, tahun 1985–1989: Visiting Profesor, Osaka University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002–2003; Fellow at the Wissenschatten College in Berlin. Nasr Hamid Abu Zaid menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 5 Juli 2010.[4]

Buku-buku Nashr Hamid Abu Zaid banyak membahas dan menitik beratkan

pada aspek “teks” (nass), sehingga ia mengatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah ‘peradaban teks’ (hadharah al-nass). Maka, ia banyak menulis buku-buku yang berbicara dalam persoalan teks, seperti Mafhum al-Nas, Dirasah fi Ulum al-Quran, Naqd al-Khitab al-Din.

Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain:

1) “Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah” (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah. Beirut 1982).

2) “Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi” (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi. Beirut, 1983).

3) “Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an” (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Cairo, 1987).

4) “Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik” (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. Cairo, 1992.

5) “Kritik Wacana Agama” (Naqd al-Khithab ad-Diniy. 1992).

6) “Imam Syafi’i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah” (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang.[5]

Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism), Al Quran melukiskan dirinya sebagai risalah, dan risalah menggambarkan hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima melalui sistem bahasa. Oleh karena itu dalam kajian Al Quran tidak mungkin menjadi objek kajian ilmiah maka wajar jalan yang ilmiah bagi kajian teks Al Quran adalah realitas dan budaya; realitas yang mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, dan mengatur penerima pertama teks, yaitu rasul, dan budaya yang menjelma dalam bahasa.[6]

Akan tetapi bahwa teks adalah produk budaya ( Muntaj At Tsaqofi), dalam kajian Al Quran, merupakan fase pembentukan dan kematangan, yaitu fase dimana teks setelah itu berubah menjadi produsen budaya, dalam pengertian bahwa teks merupakan teks tunggal dan menjadi landasan untuk teks lain. Perbedaan antara kedua fase sejarah teks adalah perbedaan antar teks yang mempengaruhi dan merubah budaya.

Oleh karena itu bahasa merupakan sistem tanda, maka bahasa tentunya merupakan sistem yang menghadirkan kembali dunia secara simbolik, dan merupakan media untuk mengubah dunia materi dan ide ide abstrak menjadi simbol. Teks teks bahasa sebenarnya adalahh sarana untuk menggambarkan dan mengungkapkan realitas dengan cara tertentu.[7]

Islam didasarkan pada dua sumber Al Quran dan Hadits Nabi yang shahih. Ini merupakan fakta yang tidak bisa diragukan kebenarannya. Dan menjadi problem bahwa teks teks tersebut tidak disampaikan secara sempurna dan final dalam satu kejadian, teks teks tersebut berupa teks bahasa yang terbentuk dalam rentang waktu lebih dari 20 tahun.

Bahwa al-Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.

Tugas penerima pertama adalah mentransfer risalah dan menyampaikannya kepada manusia, tidak sekedar mengetahui isi dan menerima kandungannya. Kalau hanya berperan menerima dan megetahui pesan saja, berarti penerimanya hanya berperan sebagai nabi saja. Tugas menyampaikan inilah yang menjadikan seorang nabi sebagai seorang rasul.[8]

Dari titik inilah, Abu Zayd mengawali kajian teks Al-Qur’an, yaitu dengan menempatkan teks Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqafat), sekaligus ia memproduksi budaya (muntij li al-tsaqafat).Abu Zayd dalam Mafhûm al-Nash menjelaskan, “wa al-maqshûd bi dzalika annahu tasyakkala fi al-wâqi’ wa al-tsaqâfat khilâla fatrah tazîdu ‘ala ‘isyrîna ‘âman”. Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘produk budaya’ di sini adalah: Alqur’an terbentuk di tengah-tengah kenyataan sosial dan budaya Arab selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zayd menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Alqur’an tidak bertentangan dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan kultural dimana teks tersebut muncul.

Hal ini menurutnya terjadi dalam dua fase, 1) fase keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, yaitu ketika Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya, dan 2) fase pembentukan budaya “baru” (marhalah al-tasykil), ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem budayanya.[9]

d. Tafsir dan Ta’wil

Tafsir secara bahasa berasal dari kata al fasru dan assafru memiliki arti sama, yaitu mengungkap sesutau yang tersembunyi melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufassir, melalui tanda itu ia dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi dan samar tersebut. Oleh karena itu, Ibnu Faris berpendapat bahwa: makna makna ungkapan yang diipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu dapat dikembalikan pada tiga hal, yaitu makna, tafsir dan ta’wil. Ketiganya meskipun berbeda, namun maksudnya berdekatan.

Perlu dijelaskan bahwa kata ta’wil muncul dalam al-qur’an sebanyak 17 kali, sementara kata tafsir muncul hanya sekali. Tentunya, ini menunjukkan bahwa kata ta’wil lebih populer pemakaiannya dalam bahasa pada umumnya, dan dalam teks khususnya, daripada kata tafsir. Barangkali, rahasia dibalik ini adalah bahwa ta’wil merupakan konsep yang di kenal dalam kebudayaaan pra-islam, berkaitan dengan tafsir terhadap mimpi atau ta’wil al-hadist, seperti ta’wil terhadap mimpi Rabi’ah bin Mudar yang di tafsirkan oleh Satih dan Saqq bin anmar. Dalam surat Yusuf kita dapatkan bahwa stuktur surat didasarkan pada “mimpi Yusuf” pada awal surat yaitu mimpi yang ta’wilnya terealisasi pada akhir kisah. Selain itu juga mimpi sang raja yang di ta’wilkan oleh Yusuf. Yusuf juga mentakwilkan dua mimpi dari dua orang yang di penjara. Hal itu merupakan realisasi dari ramalan ayah-nya, Ya’kub, mengenai masa depannya ketika ia menceritakan kepadanya mimpi yang pertama:[10]

وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (6) (surat yusuf 12: ayat 6)

Ungkapan ta’wilal-hadist tak lain hanyaah ta’wil terhadap mimpi. Hal ini terlihat jelas dengan penggantian kata ahlam (mimpi) dengan kata alhadist.

Kata hadist dipergunakan untuk pengertian mimpi disebabkan karena juru ta’wil tidak semata-mata men-ta’wil mimpi itu sendiri. Ia men-ta’wil hadist (cerita) yang di sampaikan oleh orang yang bermimpi. Dengan kata lain ia melakukan ta’wil atas ungkapan-ungkapan verbal yang dipergunakan oleh orang yang bermimpi untuk memformulasikan gambar-gambar yang dilihat dalam tidurnya. Dengan demikian,t a’wil disini difokuskan pada gambaran-gambaran yag dijelaskan oleh mediator, yaitu hadist.[11]

Dengan demikian, makna ta’wil adalah kembali pada asal usul sesuatu , apakah hal itu berbentuk perbuataan atau cerita. Kembali ke asal usul dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikasikannya. Demikianlah, sang hamba yang saleh itu menta’wilkan perbuatan dengan mengungkapkan sebab dan alasan yang sebenarnya. Begitu pula Yusuf dapat mengungkapkan “asal-usul” makanan dan sumbernya sebelum makanan itu datnag. Demikian pula juru ta’wil mimpi mengugkapkan “asal-usul” sebenarnya yang tersembunyi di balik gambar-gambar yang dilihat oleh orang yang tidur. Setiap peristiwa, perbuatan, atau cerita memliki sisi yang dzahir dan yang batin, yang batin hanya dapat diungkapkan melalui ta’wil yang mengembalikan apa yang dzahir pada asal usuldan sebab yang sebenarnya.[12]

Dapat kita katakan bahwa kata ta’wil adalah menggerakkan sesuatu atau gejala, apakah kembali ke asal usulnya atau merawat dan mengatur tujuan serta akibatnya. Jika demikian, ta’wil dapat menangkapkan gerakan atau feenomena maka kita dapat memahami ayat yang problem dalam pemikiran agama, yaitu ayat ahkam dan mutasyabih.

Namun secara istilah yang berangkat dari perbedaan tafsir dan ta’wil secara bahasa, kita dapat melihat bahwa terdapat perbedaan penting antara kedunya. Hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu membutuhkan tafsirah yaitu medium yang diamati mufassir sehingga ia dapat mengungkapkan apa yang dikehendakinya, sementara ta’wil proses yang tidak selalu membutuhkan medium ini, bahkan kadang kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental intelektual dalam menemukan asal mula gejala atau mengamati akibatnya. Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara subjek dan objek, sementara hubungan ini dalam proses tafsir tidak langsung melainkan melalui medium yang berupa teks bahasa, atau berupa sesuatu penanda. Dalam dua konteks ini harus ada medium yang merupakan tanda, dan melalui tanda ini proses pemahaman terhadap objek oleh pihak subjek dapat berjalan.

e. Kritik Atas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zaid

Benarkah Al Quran Produk budaya? Ada persamaan dan juga perbedaan antara kaidah penafsiran yang dirumuskan oleh ulam islam dengan yang kaidah penafsiran yang ditawarkan oleh hermeneutika barat. Satu hal yang bagi ulama islam merupakan batas toleransi adalah pandangan yang menyatakan bahwa al Quran adalah produk budaya.[13]

Benarkah bahwa Al Quran adalah produk budaya yang disusun oleh nabi Muhammad setelah memikirkan keadaan masyarakat? Tetapi hal tersebut telah dibantah oleh Al Quran bahwa Nabi Muhammad tidak memiliki kewenangan untuk merubah sedikitpun, seperti termaktub dalam al Quran,

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46)

Seandainya alquran bukan bersumber dari tuhan pemelihara semesta alam, tentulah kamu dapat menyusun semacamnya atau Nabi Muhammad dapat membuat yang serupa dengannya , dan seandainya dia , yakni Nabi Muhammad , mengadakan atas nama kami ,jangankan semua , sebagian perkataan saja yang tidak kami firmankan atau tidak Kami izinkan kepadanya untuk disampaikan [44], niscaya benar benar kami menyiksanya dengan tangan tangan kanan, yakni dengan sangat kuat [45], kemudian benar benar Kami akan memotong urat tali jantungnya sehingga dia tidak akan bertahan hidup sekejap pun [46].Al Haqqah 44_46.

Ada kesepakatan di kalangan ulama islam bahwa siapa pun yang terbukti dengan jelas menilai Al Quran sebagai produk budaya, ada hakikatnya telah keluar dari agama islam. Jika yang dimaksud dengannya adalah teks? bahasa yang digunakan Allah dalam menyampaikan pesan pesan Nya adalah bahasa manusia, sedangkan bahasa manusia adalah produk budaya, atau bahwa Al Quran menyampaikan pesan Nya dalam masyarakat yang memiliki budaya, yakni dia tidak hadir dalam berinteraksi dengan masyarakat yang berbudaya itu seta menggunakannya dalam memberi contoh dan bimbinganNya , maka hal tersebut tidak jauh dari pemahaman oleh ulama islam.

Maka dari itu tidak salah jika dikatakan bahwa Allah melalui kitab suci Nya yqang diturunkan kepada Nabi Muhammad , menggunakan budaya manusia untuk menjelaskan tuntunan Nya, bukan bahwa Al Quran adalah produk budaya. Akan tetapi apabila yang dimaksud dengan produk budaya adalah teks yang digunakan AlQuran atau kandungan Nya adalah produk hasil karya, rasa dan cipta manusia , sebagaimna ta’rif budaya, maka hal tersebut telah bertentangan dengan aqidah islam.

Kalau semisal Al Quran adalah produk budaya yang merupakan hasil pemikiran Nabi Muhammad dan teksnya adalah susunan beliau, tentu saja ada kaum yang mampu menyusun semacam teksAl Quran. Sebagaiman yang diterangkan oleh sejarah dan kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menyusun yang serupa dengannya , walau mereka saling membantu.

Ketika ketika berbicara tentang Al Quran sebagai produk budaya, maka apakah hal tersebut lahir dari faktor yang logis atau patut di masa jahiliyyah. Abbas Mahmud Al Aqqad (1889–1964 M) dalam bukunya Mathla’ an Nur berkat bahwa berbagai pembukaan yang menghasilkan dampak yang sesuai dengan hukum hukum Allah dan ada juga pembukaan yang menghasilkan dampak berdasarkan pemeliharaan Allah secara langsung (inayatullah), yakni ada kuasa Allah sehingga hal tersebut itu bisa terjadi.

Kehadiran isalam di tengah masyarakat arab dan dunia adalah salah satu ‘inayah Allah, yakni turun dari kekuasaan Allah. Hal tersebut bukan karean Muhammad dan juga bukan melalui proses budaya. Jadi dalam mukadimah kitabnya bahwa Nabi Muhammad tidak hanay diutus masyarakat arab atau dunia belum siap menerima ajaran islam, tetapi hal tersebut bertolak belakang dengan ajaran islam, sehingga betapa besar peranan Allah dalam risalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad .[14]

Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an, bahwa obyek utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut, studi al-Qur`an harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain pendekatan tekstual, studi al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis, sehingga asbab al-nuzul yang merupakan salah satu pilar ilmu-ilmu al-Qur`an, digunakan dalam perspektif yang lebih luas yakni sekumpulan konteks historis sosial — Abad VII M- turunnya wahyu.Dengan pendekatan tekstual dan historis kritis di atas, tafsir al-Qur`an dapat diorientasikan kepada pemaknaan ulang yang relevan.

Catatan Kaki

[1] Nasr Hamid Abu Zaid (ed.), TEKTUALITAS AL QURAN Kritik terhadao Ulumul Quran, diterjemahkan oleh Khoirron Nahdliyyin dari“ Mafhum an Nash Dirasah fi ‘ulumil Al Quran”,

(Yogyakarta: Lkis, 2005), Cet. IV, h. v

[2]Nashr Hamid Abu Zaid (ed), Menalar Firman Tuhan Wawasan Majaz dalam Al Quran menrut Muktazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dari Dirasah fi qalhiyyah Al Majaz fi Al Quran inda Al Muktazilah, (Bandung: Mizan, 2003), cet I

[3]LSQ Fakultas bnUshuluddin IAIN Raden Intan Lampung PEMIKIRAN NASHR HAMID ABU ZAYD MENGENAI METODOLOGI TAFSIR AL-QUR`AN/5/09/2014 diaksess pada tanggal 5 september 2014 pada pukul 15.10

[4]Nashr hamid abu zaid/Erik Abdul Karim Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid.htm di akses pada tanggal 5 september 2014 pukul 15.03

[5] /Artikel#IndonesiaTanpaJIL: Kisah Nasr Hamid Abu Zayd, Pengusung tafsir Hermeneutika.htm diakses pada tanggal 5 september 2014 pukul 15:05

[6] Nasr Hamid Abu Zaid (ed.), TEKTUALITAS AL QURAN Kritik terhadap Ulumul Quran, ,..h. 20

[7] Ibid, h. 20

[8] Ibid, h. 61

[9]Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, edisi terjemahan Indonesia oleh Khoiron Nahdliyin, LkiS, Yogyakarta, 2002, hal: 20

[10]Nasr Hamid Abu Zaid (ed.), TEKTUALITAS AL QURAN Kritik terhadap Ulumul Quran, ,..h.285

[11]Ibid, h.286

[12]Ibid, h.289

[13] Lihat M. Quraih Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) hal. 468

[14] Ibid, …hal. 479

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Haris Fauzi
Haris Fauzi

No responses yet

Write a response