Muslim Selamat dari Fitnah Dajjal; Sebuah Penafsiran Surat Al Bayyinah

Haris Fauzi
7 min readJul 28, 2021

--

Muslim Selamat dari Fitnah Dajjal || Sumber gambar: Twitter

Dr. Ibrahim Ali Sayyid Ali Isa dalam bukunya al Ahadis wa al Asar wal al Waaridah fii Fadhaail Suwari Qur’ani al Kaarimi kurang lebih ada empat Hadis yang membahas tentang keutamaan surat al Bayyinah. Dari hadis-hadis tersebut semuanya bercerita tentang Allah yang meminta Nabi Muhammad SAW membacakan surat al Bayyinah kepada Ubay bin Ka’ab. Dalam salah satu hadis itu juga disebutkan tentang agama hanif, yaitu bukan Yahudi juga bukan Nasrani.

Dalam buku al Ahadis wa al Asar al Waaridah fii Fadhaail Suwari Qur’ani al Kaarimi karya Ibrahim Ali Sayyid, hanya ada empat Hadis yang membahas tentang keutamaan surat al Bayyinah. Dari hadis-hadis tersebut semuanya bercerita tentang Allah yang meminta Nabi Muhammad SAW membacakan surat al Bayyinah kepada Ubay bin Ka’ab.

Dari beberapa Hadis tersebut, ada keterangan yang perlu menjadi perhatian, adalah tentang Agama Hanif yang ada pada Hadis riwayat Ubaiy bin Kaab. Dalam Hadis tersebut disebutkan, bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah agama yang lurus (hanif) dan penyerahan diri secara total (muslim), tidak ke-Yahudi-an maupun ke-Nasrani-an.

QS. Al Bayyinah sendiri juga berisi kisah dan ancaman Allah SWT terhadap keangkuhan orang-orang kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik yang tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang bukti yang nyata. Selain itu dalam Al Bayyinah juga disinggung tentang Diin al Qayyimah (agama yang lurus). Bahwa agama yang lurus adalah menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.

Melihat keterangan Hadis dan isi kandungan QS Al Bayyinah tersebut, kita perlu membaca dan menelaah kembali QS. Al Baqarah antara ayat 60–150. Dalam ayat-ayat tersebut diabadikan perdebatan antara tiga agama, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Dalam perdebatan itu, Nabi Muhammad SAW dibimbing langsung oleh Allah SWT dalam menjawab semua klaim kaum Yahudi dan Nasrani.

Contohnya dalam QS Al Baqarah: 80–82. Dalam Tafsir al Maraghi menjelaskan bahwa pada ayat-ayat ini Allah menuturkan salah satu di antara kesombongan dan ketakaburan kaum Bani Israil. Mereka mengakui bahwa diri mereka adalah bangsa yang dipilih oleh Allah. Bahkan lebih dari itu, mereka mengakui dirinya sebagai anak-anak Allah dan kekasih-Nya. Mereka tidak akan disiksa selama-lamanya dalam neraka, tetapi siksaan-Nya sama halnya dengan hukuman sang ayah kepada anaknya atau kekasih kepada kekasihnya.

Dengan kata lain, dalam jangka waktu yang pendek mereka akan dibebaskan kembali dari siksaan api neraka, karena dengan segera mereka akan mendapat keridaan dari Allah setelah menjalani hukuman yang sebentar tersebut.[3]

Perhatikan perkataan mereka, “Dan mereka juga berkata, “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api (neraka), kecuali beberapa hari saja.[4]

Allah mengajar Nabi Muhammad SAW dan ummatnya untuk menjawab angan-angan mereka itu bahwa: Katakanlah, hai Muhammad, sambil menolak anggapan mereka dan mengecamnya, “Sudahkah kamu menerima menyangkut apa yang kamu katakana itu janji dari Allah sehingga dengan demikian Allah tidak akan memungkiri janji-Nya dan kamu benar-benar tidak akan disentuh api neraka kecuali beberapa hari? Sudah adakah janji itu ataukah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu katakana?

Atas klaim tersebut, Allah membantah mereka melalui perintah-Nya kepada Nabi Muhammad SAW: Tanyakanlah, Sudahkah yakni pernahkah kalian menerima janji dari Allah? Tentu saja kalau janji itu ada, pasti Allah tidak mengingkari janji-Nya. Ataukah kalian menyatakan atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui? Perhatikan jawaban yang diajarkan itu. Nabi SAW bukannya diperintah untuk berkata, “Ataukah kalian berbohong, membuat-buat ucapan atas nama Allah yang tidak Dia ucapkan?

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah, yang berbohong pasti mengetahui bahwa dia membuat-buat ucapan. Redaksi yang diajarkan untuk ditanyakan kepada mereka itu tidak secara kasar menuduh mereka berbohong.

Memang di celahnya ada kesan bahwa ucapan itu tidak benar, tetapi ketidakbenarannya bukan karena berbohong melainkan karena mereka tidak mengetahui. Itulah yang diajarkan Allah untuk diucapkan Nabi Muhammad SAW. Sekali lagi, pesan yang dikandungnya sama, tetapi yang diajarkan untuk diucapkan lebih sopan dan tidak menyinggung perasaan.

Sebenarnya, tidak ada janji dari Allah. Bukan juga karena mereka tidak tahu. Sumber masalahnya, menurut keterangan Quraish Shihab adalah sikap pemutarbalikan mereka. Tetapi, yang benar adalah barang siapa berbuat dosa, yakni mempersekutukan Allah dan ia diliputi oleh dosanya sehingga seluruh segi kehidupannya tidak mengandung sedikit ganjaran pun akibat ketiadaan iman kepada Allah, mereka itulah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.

Dan orang-orang yang beriman dengan iman yang benar sebagaimana diajarkan oleh nabi-nabi mereka serta beramal saleh sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul, mereka itu bukan selain mereka adalah penghuni surga dan mereka juga kekal di dalamnya.[5]

Dalam Tafsir al Maraghi QS. Al Baqarah: 87–89 dijelaskan, menjelaskan ayat di atas, berdasarkan sunnatullah yang berlaku terhadap makhluk-Nya (manusia), jika manusia sudah lama tidak kedatangan rasul, hati mereka menjadi keras sehingga kelembutan hatinya hilang, dan tidak menerima nasehat-nasehat.

Sikap ini mengakibatkan mereka membangkang perintah-perintah Allah, bahkan mendorong mereka untuk berani merubah ketentuan-ketentuan syari’at agama melalui cara ta’wil yang jauh dari kebenaran. Mereka pun lupa terhadap peringatan-peringatan Allah yang ditujukan kepada mereka sebelumnya.

Karenanya, Allah mengutus rasul secara terus-menerus agar jangan terlalu banyak waktu senggang yang mengakibatkan kerasnya hati umat manusia. Bangsa Yahudi ini adalah bangsa yang banyak kedatangan rasul. Karenanya, tidak ada alasan bagi mereka untuk melupakan syari’at-syari’at agama atau mau mencoba-coba dan mena’wilkan sekehendak hati mereka. Tetapi sangat disayangkan, mereka adalah suatu kaum yang cenderung mengikuti hawa nafsu dan mengikuti kehendak nafsu itu.

Mereka selalu menentang perintah rasul yang diutus untuk mereka. Sebagian di antara mereka malah ada yang tidak percaya kepada rasul tersebut, bahkan sebagian lainnya ada yang berani membunuh mereka. Sikap tersebut karena iman mereka sangat tipis, iman mereka hanya terbatas pada sebagian Al Kitab, dan sebagian lain mereka serta merta menolak (tidak diamalkan). Selain itu, yang melatarbelakangi sikap mereka ini tidak lain hanya hawa nafsu mereka.[6]

Bahkan Qurais Shihab mengatakan dalam Tafsir Al Misbah, orang-orang Yahudi yang diceritakan sifat-sifatnya di atas, sangat lihai. Banyak dalih yang mereka kemukakan, juga banyak kalimat bodoh yang mereka ucapkan.[7]

Di dalam ayat QS. Al Baqarah: 111–113 ini, seperti yang dijelaskan dalam Tafsir Al Maraghi, Allah menjelaskan dua tingkah laku kaum Yahudi. Pertama, menyesatkan orang-orang selain mereka. Alasan mereka, kebenaran itu tidak berasal dari orang lain lantaran para nabi hanya khusus diturunkan dari kalangan Yahudi. Kedua, orang-orang Yahudi menganggap orang Nasrani itu sesat. Dan sebaliknya, kaum Nasrani menganggap kaum Yahudi itu sesat. Namun pada kenyataannya, kitab yang mereka baca dan pegang berasal dari kitab Nasrani. Dan kitab Nasrani itu berfungsi melengkapi kitab orang Yahudi.

Ringkasan kisah ini ialah, mereka enar-benar telah menjadi pengabdi nafsu masing-masing. Perkataan yang mereka keluarkan sama sekali tidak bisa dipercaya dan tak dapat dijadikan sebagai pegangan. Tuduhan mereka terhadap Nabi SAW, sama sekali bukan merupakan tanda bahwa Nabi SAW. bertentangan dengan kebenararn. Orang-orang Yahudi mengingkari Nabi Isa, sekalipun sebelumnya mereka menunggu-nunggu. Begitu pula kaum Nasrani menolak Nabi Musa dan Taurat, padahal kitab ini adalah hujjah bagi mereka.

Memperhatikan kebiasaan mereka ini, lebih-lebih pendapat mereka tentang Nabi Muhammad SAW. sudah tentu mereka ini tidak bisa dipercaya. Sebab, mereka tidak suka terhadap Nabi Muhammad SAW karena beliau bukan dari kalangan mereka, bahkan Nabi datang dengan me-nasakh syari’at mereka.[8]

Dalam ayat QS. Al Baqarah: 120 ini dijelaskan, keengganan orang-orang Yahudi dan Nasrani-walau bukan semuanya- untuk mengikuti ajakan Nabi Muhammad SAW. lebih dipertegas lagi. Allah menyampaikan bahwa tidak semua akan senang dan bergembira dengan datangnya Nabi SAW.[9]

Karena sebelumnya, Rasulullah SAW mengharapkan ahli kitab sebagai orang yang pertama beriman kepadanya. Tetapi kenyataannya, mereka adalah kelompok manusia yang paling menolak dakwah Rasulullah. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk menentang nabi, sekali pun ajaran tentang poko-pokok agama, tetnang tauhid dan meluruskan fitrah manusia telah menyimpang lantaran kebiasaan yang merusak citra kebenaran agama, adalah sama dengan ajaran mereka.

Di dalam ayat ini tersirat perasaan putus asa Nabi di dalam menghimbau mereka memasuki Islam. Kini, rasul pun mengetahui harapannya itu sangat sulit dicapai. Sebab, mereka mengajukan syarat agar nabi memasuki agama mereka. Agama telah dijadikan sebagai model kebangsaan bagi mereka. Sehingga mereka tidak merasa rela kepada siapa pun, kecualimereka memasuki agama dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan mereka ini mereka ini mengandung suatu pengertian bahwa agama mereka adalah satu-satunya jalan petunjuk (way of life).

Karenanya Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menyanggah pernyataan mereka: “Katakanlah, Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).”Artinya, sesungguhnya hidayah itu adalah apa yang diturunkan Allah kepada para Nabi-Nya. Jadi, tambahan orang-orang Yahudi dan Nasrani kedalam kitab mereka masing-masing itu terdorong oleh hawa nafsu belaka.[10]

Dari beberapa keterangan tersebut, jika dikaitkan dengan fadhilah surat Al bayyinah bisa diambil kesimpulan, dengan kita sering membaca surat tersebut akan menjadikan agama Islam yang kita anut tegak lurus. Keimanan kita senantiasa bertambah kuat. Selain itu, kita juga diperintahkan untuk mempelajari bagaimana perjalanan dan kisah agama-agama terdahulu, agar bisa mengambil hikmah dari kisah mereka. Harapannya juga, kita tidak meniru sifat-sifat orang Yahudi dan Nasrani yang hanya menuruti hawa nafsu mereka tanpa mau menerima kebenaran dari luar golongan mereka dan di luar yang mereka yakini.

Referensi

[1] Ibrahim Ali al Sayyid Ali Isa, al Ahadis wa al Asar, hlm. 357.

[2] Ibrahim Ali al Sayyid Ali Isa, al Ahadis wa al Asar, hlm. 358.

[3] Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, terj. Cet. Ke-2, (Semarang: PT Karya Tohra Putra, 1992), hlm. 274.

[4] Lihat Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, terj. Cet. Ke-2, (Semarang: PT Karya Tohra Putra, 1992), hlm. 275.

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Cet IV, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2011), hlm. 290.

[6] Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, terj. Cet. Ke-2, (Semarang: PT Karya Tohra Putra, 1992), hlm. 298–299.

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Cet IV, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2011), hlm. 308.

[8] Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, terj. Cet. Ke-2, (Semarang: PT Karya Tohra Putra, 1992), hlm. 354–355.

[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Cet IV, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2011), hlm. 366.

[10] Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, terj. Cet. Ke-2, (Semarang: PT Karya Tohra Putra, 1992), hlm. 373.

--

--

Haris Fauzi
Haris Fauzi

No responses yet