Mengkafirkan Sesama Muslim Gegara “Beda Aliran”
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam ghaib (metafisika). Kita tidak akan dapat memahami pesoalan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya, kejadian politis historis yang menyertai pertumbuhannya.[1]
Filsafat dan unsur-unsur lain yang masuk ke dunia Islam memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan Ilmu Kalam, di samping juga memberikan pengaruh negatif, bahkan sampai menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Seperti munculnya aliran dan sekte dalam Teologi Islam yang saling mengkafirkan di antara sesamanya.
Persentuan kaum muslimin dengan budaya dan peradaban asing, terutama yang berhubungan dengan filsafat ketuhanan, mendorongnya untuk mempelajari dan menguasai filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian, mereka dapat meningkatkan kualitas keilmuan dan mampu memberikan argumentasi rasional tentang kebenaran ajaran Islam. Persentuhan itu melahirkan asimilasi antar budaya dan peradaban; Islam dan asing. Inilah yang memperkaya Khazanah Ilmu Kalam.[2]
FAKTOR-FAKTOR LAHIRNYA ILMU KALAM
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya Ilmu Kalam, maka bisa diklasifikasi menjadi dua Faktor, yaitu Faktor Intern dan Faktor Ekstern.
FAKTOR INTERN
Faktor Intern adalah faktor yang lahir dari Islam sendiri. Dan dalam hal ini, ada tiga faktor:
1. Qur’an sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW., yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah dengan alasan, antara lain:
a. Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (baca al-Jatsiah 24).
b. Golongan-golongan syirik, yang menyembah bintang-bintang, bulan, matahari (baca al-An’am 76–78), yang mempertuhankan Nabi Isa dan Ibunya (baca al-Maidah 116), yang menyembah berhala-berhala (baca al-An’am 74 dan as-Syu’ara 9).
c. Golongan-golongan yang tidak percaya akan diutusnya Nabi-nabi (baca Isra 94) dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat nanti (baca al-Anbiya’ 104).
d. Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi didunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang munafiq) (baca Ali Imran 154).
Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga memerintahkan nabi Muhammad SAW., untuk tetap menjalankan dakwahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara yang halus. Firman Tuhan: “Ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat dan nasehat-nasehat yang baik-baik dan bantahlah mereka itu dengan jalan yang lebih baik” (an-Nahl 125).
Adanya golongan-golongan tersebut di samping adanya perintah Tuhan dalam ayat ini sudah barang tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk mengemukakan alasan-alasan kebenaran ajaran-ajaran agamanya di samping menunjukkan kesalahan-kesalahan golongan-golongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan itu, dan dari alasan-alasan itulah berdiri ilmu kalam. [3]
2. Sesungguhnya kaum muslimin setelah menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya, di sinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama, dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti ini hampir merupakan gejala umum bagi tiap-tiap agama. Pada mulanya agama-agama itu hanyalah merupakan kepercayaan yang sederhana dan kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan.
Pemeluk-pemeluknya melaksanakan (menerima) bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dan beriman dengan sepenuh hati tanpa ada kecendrungan pembahasan dan pemilsafatan. Kemudian setelah itu datang fase pemfilsafatan dan pemikiran dalam membicarakan soal-soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian tokoh-tokoh agama mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasannya. Inilah yang terjadi pada agama Yahudi dan ini pulalah yang terjadi pada agama Nashrani. [4]
Sebagai contoh, orang-orang muslim dulu iman kepada qada dan qadar baik dan buruknya dan iman sepenuhnya bahwa manusia ini ditugaskan menjalani perintah-perintah Tuhan, tanpa menanyakan lebih lanjut. Datanglah kemudian orang-orang yang mengumpulkan ayat-ayat sekitar soal tersebut dan memfilsafatkannya. Di satu pihak ada ayat-ayat yang menunjukkan adanya paksaan dan pemberian tugas di luar kesanggupan seseorang .
Di pihak lain, Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bisa melakukan perbuatannya dan bertanggung jawab terhadapnya (baca al-isra’ 94, an-Nisa’ 168, al-Kahfi 29, al-Insan 3). Bagaimana mempertemukan ayat-ayat tersebut? Apakah manusia itu dipaksa ataukah mempunyai kebebasan memilih dan berbuat? [5]
3. Masalah-masalah politik. Mungkin contoh yang paling jelas alam persoalan tersebut adalah masalah Khilafah. Rasulullah SAW., telah wafat, dan beliau tidak menunjuk seseorang pengganti dan tidak pula menentukan prosedur yang bisa dipergunakan dalam pemilihan khalifah. Sebagai bukti golongan Muhajirin dan golongan Anshar mengajukan usul: untuk kami seorang Khalifah dan juga untuk kamu (Muhajirin) seorang Khalifah. Orang-orang muhajirin menolak usulan itu. Sahabat Umar lantas cepat-cepat membaiat Abu Bakar yang kemudian diikuti sahabat-sahabat lainnya, Abu Bakar kemudian mengambil cara lain, karena dia menyerahkan khilafah kepada Umar dan Umar pun mengembil cara yang ketiga (Mnyerahkan khilafah kepada panitia dan dalam pemilihan jatuh kepada Utsman). [6]
Sebenarnya masalah khilafah itu adalah soal politik. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah tertentu, tetapi hanya memberikan dasar yang umum, yaitu kepentingan umum. Wakil-wakil umat bisa mengadakan peraturan-peraturan cara pemilihan orang yang bisa mewujudkan kepentingan umum itu. Kalau terjadi perselisihan itu adalah soal politik semata-mata. Akan tetapi tidak halnya pada masa itu. Ditambah lagi dengan peristiwa terbunuhnya Utsman r.a., dalam keadaan gelap.
Sejak itu kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa partai, yang masing-masing mereka sebagai pihak yang benar dan hanya calon daripadanya yang berhak menduduki sebagai pimpinan negara. Kemudian partai-partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan di antara mereka menjadi perselisihan agama, dan berkisaran di antara soal iman dan kafir. Perselisihan mereka bukan saja dicatat oleh buku-buku sejarah yang membukukan kejadian-kejadian politik, tapi juga dicatat oleh buku-buku golongan keagamaan.[7]
Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi titik tolak yang jelas dari permulaan berlarut-larutnya perselisihan bahkan peperangan di antara kaum muslimin sendiri. Sebab sejak saat itu timbullah orang yang menilai tentang peristiwa pembunuhan itu, di samping menilai amal perbuatan Utsman sendiri sewaktu hidupnya. Segolongan kecil mengatakan bahwa Utsman dianggapnya salah kebijaksanaannya pada akhir masa jabatannya. Pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Utsman itu adalah kejahatan besar dan pembunuhnya adalah kafir.
Utsman adalah khalifah yang sah, seorang prajurit Islam yang sejati. Penilaian yang tidak sama ini, menjadi fitnah dalam peperangan yang terjadi pada masa khalifah Ali r.a. Dari sini timbul persoalan bersar yang selama ini banyak memenuhi buku-buku keislaman, yaitu melakukan kejahatan besar yang asalnya dihubungkan dengan kejahatan khusus, yaitu pembunuhan terhadap Utsman, kemudian berangsur-angsur menjadi persoalan umum, lepas dari persoalan siapa orangnya, kemudian timbul soal-soal lainnya, seperti masalah iman dan hakikatnya, berambah dan berkurangnya iman dan lain-lainnya.
Persoalan dosa tersebut, dilanjutkan lagi yaitu mengenai sumber kejahatan dan perbuatan manusia. Karena adanya penentuan sumber ini, maka dengan mudah diberikan vonis kepada pelakunya sebagai orang yang salah.
Kalau manusia itu sendiri sebagai sumber perbuatan, maka soalnya sudah jelas. Akan tetapi kalau sumber perbuatan itu dari Tuhan, manusia itu hanya sebagai pelaku semata-mata, maka keputusan manusia itu dosa atau kafir, hal tu masih belum jelas. Inilah yang menyebabkan timbulnya golongan Jabariyyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah yang membicarakan masalah Af’alul ‘Ibad atau perbuatan hamba, apakah manusia itu mempunyai kebebasan dalam berbuat atau dalam keadaan terpaksa dalam perbuatannya atau bagaimana. [8]
FAKTOR EKSTERN
Faktor Ekstern adalah faktor yang datangnya dari luar Islam dan kaum Muslimin, yaitu :
1. Banyak di antara pemeluk-pemeluk Islam yang semula mereka memeluk bermacam-macam agama; seperti Yahudi, Nashrani, Masehi, Zoroaster, Brahmana, Nashrani, Majusi dan lain-lain, bahkan di antara mereka ada yang sudah pernah menjadi ulamanya. Setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh ajaran agama yang baru, yaitu Islam, mereka mulai mengingat-ingat kembali ajaran agamanya yang dulu, dan dimasukkannya ke dalam ajaran-ajaran agama Islam. Karena itu, dalam buku-buku aliran dan golongan Islam sering kita menjumpai pendapat-pendapat yang jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di dalam tarikh kita kenal, seperti Ahmad bin Haith yang dahulunya memluk agama Hindu, mempersoalkan masalah reinkarnasi (tanāsukhu al-arwāh) yaitu, manusia mati, kemudian hidup lagi menjelma menjadi jenis makhluk yang lain. Abdullah bin Saba’ dari Persia, yang dahulunya memeluk agama Yahudi, menganggap bahwa Raja Persia itu mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Kemudian timbul faham mentuhankan khalifah Ali r.a., bahkan Abdullah bin Saba’ sendiri mengatakan bahwa:
أَنتَ الحَقُّ “Engkau (Ali) adalah Tuhan” [9]
2. Golongan Islam yang terdahulu, terutama golongan Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk menyiarkan Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya, kalau mereka sendiri (Orang-orang Mu’tazilah) tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawan tersebut, beserta dalil-dalilnya. Dengan demikian, mereka harus menyelami pendapat-pendapat tersebut, dan akhirnya negeri Islam menjadi arena perdebatan berbagai macam pendapat dan bermacam-macam agama, yang mana bisa mempengaruhi masing-masing pihak yang bersangkutan. Salah satu yang jelas ialah penggunaan filsafat sebagai senjata kaum muslimin.
Sesungguhnya tidak mengherankan jika kaum muslimin bersenjatakan filsafat dalam menghadapi lawan-lawannya. Kita lihat Philon (25 SM-50 M), seorang Yahudi yang pertama kali memfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan mempertemukannya dengan filsafat Yunani. Dikalangan orang-orang masehi kita dapati Clemeus von Alexandrian (lahir 150 M) dan Origens (185–254) mempertemukan ajaran agama Masehi dengan Neo Platonisme. Keadaan seperti ini sudah barang tentu menyebabkan golongan Mu’tazilah dan golongan-golongan Islam lainnya mempergunakan senjata yang dipakai lawannya, yaitu filsafat. Dengan masuknya filsafat, semakin banyak pula pembicaraan Ilmu-Kalam. (Contoh: jauhar, aradl, jauhar fard dan lain-lain). [10]
3. Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesunnguhnya kebutuhan para Mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan (mengimbangi) lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari logika da filsafat, terutama segi Ketuhanan.
Oleh karena itu An-Nazhām (tokoh Mu’tazilah) membaca buku-bukunya Aristoteles dan membantah beberapa pendapatnya. Demikian pula dengan Abul Hudzail al’Allāf (tokoh Mu’tazilah). [11]
Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya Ilmu Kalam, baik faktor intern maupun factor ekstern itu sendiri. Barang siapa yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam itu Ilmu Islam murni yang tidak terpengaruhi oleh filsafat dan agama-agama lain, maka tidak benar. Dan juga yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam timbul dari filsafat Yunani semata-mata juga tidak benar, karena Islam menjadi dasarnya dan sumber pembicaraan.
Nash agama banyak dijadikan dalil disamping filsafat Yunani. Sebenarnya Ilmu Kalam itu campuran dari Ilmu keislaman dan filsafat Yunani, tetapi kepribadian Kaum Muslim di dalam Ilmu ini lebih kuat. Ilmu Kalam merupakan Puncak dari filsafat Islam.
Catatan Kaki
[1] A. Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cet. 4, 1982, hlm. 13
[2] Prof. Dr. H. Ghazali Munir, MA., Ilmu Kalam, Aliran-aliran dan Pemikiran, Rasail, Semarang, 2010, hlm. 13–14
[3] A. Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cet. 4, 1982, hlm. 13–14
[4] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Raja Grafindo, cet. 2, 2012, hlm. 34
[5] Op. cit., hlm, 16
[6] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Raja Grafindo, cet. 2, 2012, hlm. 36–37
[7] A. Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cet. 4, 1982, hlm. 16
[8] Op. cit., hlm. 39–40
[9] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Raja Grafindo, cet. 2, 2012, hlm. 40
[10] A. Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cet. 4, 1982, hlm. 19
[11] Op.cit., hlm. 43