Mengenal Kitab Hadis karya Shahih Buchori

Kitab-kitab Hadis dalam bentuk subjek-subjek khusus atau minat tertentu telah muncul sejak abad pertama Hijrah. Kodifikasi-kodifikasi yang muncul berbeda-beda, baik secara kuantitas dan kualitasnya, sesuai dengan kapasitas masing-masing penyusunannya. Bahkan banyak pula karya-karya yang muncul pada paruh pertama abad kedua Hijrah.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat Hijrah perubahan terjadi dengan munculnya kitab-kitab Hadits yang hanya memuat Hadits Nabi dengan pengaturan sistematika tertentu. Pada periode inilah munculnya kitab-kitab Hadis yang dikenal dengan Kutub al-Sittah, Kutub as-Sittah merupakan kitab Hadis yang pokok bagi umat Islam di seluruh dunia. Di antara kitab-kitab hadits tersebut adalah Sahih Al-Bukhari yang dipandang dan diakui sebagai kitab yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat Islam. Oleh karenanya, sudah menjadi kesepakatan bahwa karya Imam Bukhari merupakan yang paling otentik dari semua kepustakaan mengenai hadist nabi. Keautentikan karya Imam Bukhari oleh para sarjana Islam diungkapkan dengan pernyataan,”Buku yang paling autentik setelah kitab Allah (Al-Qur’an) adalah Sahih al-Bukhari.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah bin Badzdzibah al-Ju’fi. Ayahnya Syaikh Ismail terkenal dengan panggilan Abu Hasan adalah seorang ulama hadis yang masyhur di Bukhara yang pernah menjadi murid Imam Malik –Imam Darul HIijrah-. Ia juga salah satu sahabat dari Hammad bin Ziyad dan Ibnu Mubarak, tabi’in masyhur dan diterima riwayatnya di kalangan ulama hadis. Melihat pertemanan ayahnya ini, kita bias melihat bahwa al-BUkhari dibesarkan di dalam sebuah lingkungan keluarga yang relijius dan dipenuhi semangan keilmuan. Imam Ibnu Hibban mencantumkan biografi Syaikh Ismail dalam kitabnya Al-Tsiqat.
Silsilah keluarganya dimulai dari ayah buyutnya, Bardizbah atau Badzduzbah, yang berasal dari Persia dan hingga meninggal tetap menganut agama majusi. Tetapi cahaya Allah mulai menerangi keluarga ini saat ayah dari kakeknya Al-Mughirah menyatakan kesilamannya di sepan gurunya, Yaman al-Ju’fi, Hakim serta mufti Buhkara saat itu. Menurut kebiasaan, seorang suku atau kabilah, secara tidak langsung ia harus menisbahkan silsilah keluarganya kepada seseorang atau kabilah tersebut. Maka nama Al-Ju’fi tidak bias dihilangkan dari silsilah keluarga Imam Bukhari. Demikian dalam Islam, hal ini dikenal dengan istilah “wala”.
Selain ayahnya dikenal sebagai seorang berilmu, juga sebagai ahli wara’(menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat syubhat atau tidak jelas mengenai halal ataupun haramnya) dan menjaga ketaqwaan. Dikisahkan sebelum ajal menjemputnya, ia pernah mengatakan bahwa harta yang dimilikinya tidak ada sedikitpun yang berbau syubhat apalagi haram.
Tapi sayangnya, ayahnya meninggal sewaktu Imam al-BUkahri belum beranjak dewasa. Al-Bukhari dan adiknya termasuk beruntung karena ayahnya meninggalkan harta warisan yang cukup untuk kehidupan yang selanjutnya. Ibundanyalah yang akhirnya bertanggungjawab sebagai kepala keluarga. Tentang Ibunya, IBnu Hajar mengatkan, ibunda Imam al-Bukhari adalah seorang ahli ibadah (efeksionis) yang tekun hingga sebagian besar riwayat menjelaskan banyak terdapat karamah atau kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Salah satunya adalah riwayat yang menceritakan sewaktu Imam al-Bukhari kecilm pernah mengalami kehilangan penglihatan atau buta. Dokter yang paling ahli pun tidak bias menyembuhkan hingga suatu malam ibunya bermimpi bertemu dengan nabi Ibrahim yang berkata padanya, “Wahai ibu, disebabkan oleh banyak doa dan tangismu, Allah akan mengembalikan penglihatan anakmu”. Selain itu, ketika shalat malam, Sang ibu tak lupa untuk memanjatkan doa untuk kesembuhan anaknya. Maka sewaktu paginya penglihatan Imam al-Bukhari kembali seperti semula.
Sejak ayahnya meninggal, pendidikan dan pertumbuhan Imam al-Bukhari sepenuhnya dibawah bimbingan ibunya. Segera ia dimasukkan ke surau (kuttab) untuk mempelajari berbagai macam ilmu keislaman dan terutama untuk mengahafal Alquran sebagaimana kebiasaan anak-anak kecil waktu itu. Disanalah ia mulai mengenal Hadis Nabi. Abu Hatim al-Warraq, seorang murid dan sekretarisnya mengatakan bahwa Imam al-Bukhari mengaku mulai mengenal hadis semasa surau ini dan umurnya waktu itu sekitar sepuluh tahun, sekitar 204 atau 205 H. Suatu fase dimana menurut ulama hadis seorang dibolehkan untuk mempelajari hadis Nabi sekaligus meriwayatkannya. Terlepas dari perselisihan akan ulama yang melarangnya.
Bukhari mulai mempelajari hadis ketika usianya kurang dari sepuluh tahun . Beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Bagdad, Bashrah, Kuffah, Makkah, Mesir, dan Syam. Meskipun usianya sangat muda, Bukhari memiliki kecerdasan dan kemampuan menghafal yang luar biasa. Muhammad ibn Abi Hatim menyatakan bahwa ia pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa dia dapat ilham untuk mampu menghafal hadis. Ketika ditanya sejak usia berapa dia mendapat ilham tersebut, Bukhari menjawab sejak usia sepuluh tahun atau bahkan kurang.3
Kecerdasan Imam al-Bukhari tanda-tanda awal seorang ulama besar dalam diri al-Bukhari mulai bersinar. Suatu hari di sebuah majelis ilmu dimana Allamah ad-dakhili,sseorang ulama hadis di Bukhara mengajarkan hadis, al-Bukhari pun asyik mendengarkan dan tekun mengikuti majelis tersebut hingga ketika Allamah ad-Dakhili menyebutkan sebuah sanad hadis, Sufyan dari Abu Zubair dari Ibrahim, “Al-Bukhari berkata, “bahwa Abu Zubair tidak pernah meriwayatkan dari Ibrahim. Sang guru pun gelisah daterkejut. Tapi Al-Bukhari dengan tenang berakata,”Cobalah anda teliti sanad aslinya”. Setelah ia meneliti sanad aslinya Al-Bukhari lah yang benar. Kata Sang guru, “Coba jelaskan sanad tadi menurutmu”. Yang benar adalah Zubair, yaitu Zubair bin ‘Adi bukan Abu Zubair dari Ibrahim. Ketika Imam al-Bukhari menceritakan kisah ini, seorang bertanya,”unur berapa engkau saat itu?”Jawabnya, “sebelas tahun”.
Dari sini terlihat Imam al-Bukhari telah awal sekali bergelut dan mencintai hadis. Tidak hanya berhenti disitu saja, ia juga mampu membedakan dan menghukumi manakah hadis yang sahih dari yang tidak, memeriksa dengan teliti sebuah jalur periwayatan, menyebutkan biografi para rawi dari berbagai segi terutama yang berkaitan dengan syarat-syarat diterimanya riwayat mereka, membandingkan berbagai jalur periwayatan, juga menyimpulkan masalah-masalah yang terkandung dalam sebuah matan hadis.
Selain Allamah ad-Dakhili, gutu-guru awalnya di Bukhara antara lain Muhammad bin Salam al-Baikandi, Abdullah Muhammad bin al-Musnadi, dan Ibrahim bin Asy’ab. Bersama para ulama ini, keilmuwan Imam al-Bukhari mengalami peningkatan sekaligus dating pula pengakuan dari para ulama dan teman sejawatnya akan keluasan pengetahuan hadisnya. Kadang mereka merasa minder dan khawatir jika dalam hal periwayatan suatu hadis dating teguran pembenaran dari Imam al-Bukhari. Tak jarang teman-teman sejawatnya meminta dirinya untuk menguji hafalan hadis dan membenarkan kesalahan dalam sebuah periwayatan. Ahkan gurunya sendiri, Muhammad bin Salam Al-Bukandi juga merasakan hal yang demikian. “Setiap kali Muhammad bin Ismail mengahadiri majleisku, pikiranku terasa tidak berkonsentrasi dan senantiasa khawatir jika dia banyak membenarkan penyampaian riwayat dariku”.
Sebelum kepergiannya keluar Bukhara untuk mencari ilmu, Salim bin Mujahid menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu hajar al-Asqalani : “Ketika aku di rumah Muhammad salam al-Baikandi, ia berkata padaku, cobalah carikan aku seorang anak kecil yang ke dengar telah menghafal 70.000 hadis”. Segera aku mencari anak kecil tersebut. Aku menemuinya dan kukatakan, “Apa benar engkau mengahafl 70.000 hadis? “Jawab Imam al-Bukhari, “Benar , bahkan lebih dari itu. Aku tidak akan menyebutkan riwayat hadis dari seorang sahabat atau tabi’in kecuali telah kuketahui asal sanad tersebut dan mengafalnya sebagaimana aku menghafal Alquran dan Sunnah Rasul-Nya.”Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ia mengatakan,”Aku hafal hadis di luar kepala sebanyak seratus ribu hadis sahih dan dua ratus ribu hadis lain yang tidak sahih.
Muhammad bin Salam al-Baikandi berkata pada Imam al-Bukhari “wahai al-Bukhari, sebelum engkau pergi meninggalkan Bukhara, tolong engkau periksa kitabku, apakah ada banyak kesalahan di dalamnya?”Seorang sahabatnya lalu bertanya,”apa kelebihan dari pemuda ini hingga engkau adalah yang termahir dalam bidang hadis di Bukhara ini?,”Al-Baikandi menjawab, “Pemuda ini tiada duanya”. Al-Bukhari pun segera memeriksa kitab gurunya itu lalu memulai perjalanannya. Ternyata tugas yang diberikan tersebut menjadi pertemuan terakhir sebelum gurunya meninggal dunia saat Al-Bukhari sedang dalam perjalanan mencari ilmunya.
Dan pada saat beliau berusia mencapai enam puluh dua tahun, beliau wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H atau pada tanggal 31 agustus 870 M. Sebelum wafat, beliau berpesan agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Jenazah beliau dikuburkan setelah zuhur di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand.25
Dari sekian banyak karya Imam al-Bukhari, yang paling terkenal diantaranya adalah kitab Shahih al-Bukhari. Judul lengkap kitab tersebut adalah al-Jami’al-Musnad al-shahih al-Mukhtasar min imuur Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam wa Sunanihi wa ayyamihi. Atau kumpulam ringkasan hadis yang shahih dari perkara-perkara rasul, Sunnah, dan kehidupan kesehariannya.
Kitab tersebut disusunnya dalam waktu 16 tahun. Imam al-Bukhari mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut pada saat dia berada di Masjidil Haram, Mekah dan secara terus menerus dia menulis kitab tersebut sampai kepada draft terkhir yang dikerjakannya di masjid Nabawi di Madinah.
Jumlah Hadis Yang Diriwayatkan oleh Imam Bukhari
Dalam pelawatannya ke berbagai negeri dan berguru dengan para gurunya dari berbagai negeri tersebut, bukhari berhasil menghimpun hadis sebanyak 600.000 buah hadis, 300.000 buah diantaranya berhasil dihafalnya terdiri dari 200.000 hadis yang tidak sahih, dan 100.000 hadis sahih.
Sedangkan jumlah hadis dalam Sahih al-Bukhari, Al-Hafiz Abu Umar Utsman bin ash-Shalah (w.643 H) berkata,”jumlah hadis dalam Shahih al-Bukhari adalah 7275 hadis termasuk hadis-hadis yang diulang-ulang”. Diriwayatkan bahwa Shahih al-Bukhari berjumlah 4000 hadis tanpa pengulangan, hanya saja dalam ungkapan ini menurut mereka telah tercakup Atsar sahabat dan tabi’in, dan terkadang suatu hadis yang diriwayatkan dengan dua sanad dihitung dua hadis.
Penghitungan ulang dan ditenggarai lebih akurat dilakukan oleh Ibnu Hajar alAsqalani yang merupakan komentator terbaik al-Jami’m ash-Shahih. Ia menerapkan metode berbeda dari sebelimnya ketika ia menghitung hadis-hadis Shahih al-Bukhari , yaitu dengan melakukan perhitungan melalui perkitab. Pada setiap akhir kitabnya, ia menyampaikan jumlah hadis yang ada dalam kitab-kitab tersebut sehingga dinilai lebih akurat. Akhirnya ia menyimpulkan, jumlah keseluruhan hadis dalam Shahih al-Bukhari, termasuk yang diulang-ulang namun tidak termasuk hadis mu’allaq dan mutabi’sebanyak 7.397 buah. Hadis Mu’allaq sendiri dalam Shahih al-Bukhari sebanyak 1.341 buah. Namun dari jumlah ini yang benar-benar mu’allaq, maksudnya tidak ditemukan betul sanadnya hanya berjumlah sekitar 160 buah, dimana selebihnya hanya merupakan pengulangan yang bias ditemukan sanadnya pada tempat lain. Inilah jumlah dari hadis yang ada dalam Shahih al-Bukhari.
Penilaian Ulama Terhadap Kitab Sahih al-Bukhari
Telah menjadi kesepakatan ulama dan umat islam bahwa Kitab Sahih al-Bukhari adalah kitab yang paling otentik dan menduduki tempat terhoemat setelah Alquran. Ibn Shalah misalnya mengemukakan, kitab yang paling otentik sesudah Alquran adalah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Pendapat ini diikuti dan dipopulerkan oleh Imam Nawawi dengan menambahkan bahwa para ulama telah ijma’dalam masalah ini, sementara umat Islam juga telah menerimanya. Sejalan dengan pendapat di atas, Subhi al-Shalih mengemukakan bahwa kitab Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab yang paling sahih sesudah Alquran, sesuai dengan kesepakatan umat. Sementara itu mayoritas ulama berpendapat, kitab Shahih Bukhari lebih otentik dari kitab Sahih Muslim. Akan tetapi, sebagian kecil dari ulama, seperti Abu Ali al-Naisaburi, Abu Muhammad ibn Hazm al-Zahiri dan sebagian ulama Maghribi mengunggulkan sahih Muslim daripada Sahih Bukhari. Alasan keunggulan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim umumnya adalah ada pada keunggulan pribadi Imam al-Bukhari daripada Imam Muslim, dan keketatan Bukhari dalam memilih perawi daripada Muslim. Sementara alas an keunggulan Sahih Muslim dan Sahih al-Bukhari lebih difokuskan kepada metode dan sistematika penyusunannya, dimana Sahih Muslim lebih baik dan lebih teratur sistematikanya dibandingkan dengan Sahih Bukhari.
Meskipun dinilai paling otentik setelah Alquran dan menduduki tempat terhormat, kitab Sahih al-Bukhari ternyata tidak luput dari kritik. Sahih al-bukhari mendapat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya, baik dari kalangan ulama (muslim) sendiri dan juga orang luar islam (nonmuslim).
Diantara ulama Hadis masa lalu, seperti Dar Quthni dan Abu Ali al-Ghassani, menilai bahwa sebagian hadis-hadis Bukhari ada yang daíf. Dar Quthni dalam Al-Istidrakat wa al-Tatabbu’, mengkritik 200 buah Hadis dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Menurut Imam nawawi, kritik tersebut berawal dari tuduhan bahwa dalam Hadis-hadis tersebut, Bukhari tidak menepati dan memenuhi persyratan yang ia tetapkan. Kritik Daruquthni berdasarkan kriteria yang ditetapkan sejumlah ahli hadis yang justru dinilai dari segi ilmu hadis sangat lunak, karena berlawanan dengan kriteria jumhur ulama. Sementara daruquthni menyoroti sanad dalam arti rangkaian perawi Hadis, para ahli lain menyoroti pribadi perawinya. Dari kajian tentang sanad, Daruquthni mendapatkan adanya sanad yang terputus, karenanya Hadis itu dinilai daíf. Namun, setelah diteliti, ternyata hadis yang dituduhkan mursal itu terdapat dalam riwayat lain, sementara riwayat yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari tidak terputus. Pencantuman sanad yang mursal itu dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula oleh penulis Hadis lain dengan sanad yang lain juga. Periwayatan semacam ini dalam ilmu Hadis disebut syahid atau hadis muttabi’.
Sementara itu ada ahli Hadis lain yang menilai bahwa ada beberapa perawi dalam Sahih al-Bukhari yang tidak memenuhi syarat untuk diterima hadisnya. Dalam hal ini Ibn Hajar menegaskan bahwa itu tidak dapat diterima, kecuali apabila perawi-perawi itu terbukti jelas mempunyai sifat-sifat atau melakukan hal-hal yang menyebabkan hadisnya ditolak. Setelah diteliti, ternyata tidak ada satu perawi pun yang mempunyai sifat-sifat dan melakukan perbuatan seperti itu. Syekh Ahmad Syakir berkomentar, seluruh Hadis Imam al-Bukhari adalah sahih. Kritik Daruquthni dan lainnya hanya karena beberapa Hadis yang ada tidak memenuhi persyaratan mereka. Namun, apabila hadis-hadis itu dikembalikan kepada persyaratan ahli Hadis pada umumnya, semuanya sahih.
Kaum orientalis, seperti Ignaz Goldhizer, A.J.Wensik dan Maurice Bucaile, turut juga mengajukan kritik, yang kemudian dikenal dengan kritik matan (materi) Hadis. Menurut mereka, para ahli hadis terdahulu hanya mengkritik Hadis dari sanad atau perawi saja, sehingga banyak Hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari yang dikemudian hari ternyata tidak sahih ditinjau dari segi sosial, politik, sains, dan lain-lain. Di antara Hadis yang dikritik itu adalah Hadis yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah bersabda,”tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, yaitu Mesjid al-Haram, Mesjid al-Rasul, dan masjid al-Aqsha”. Hadis ini menurut Goldhizer adalah hadis palsu yang sengaja dibuat Al-Zuhri untuk kepentingan politik penguasa. Sedangkan hadis tentang “lalat masuk air minum”, “demam berasal dari neraka” dan “perkembangan embrio”dikritik Maurice Bucaille Karen isinya dinilai bertentangan dengan sains.
Ulama kontemporer, seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, juga mengajukan kritik terhadap Hadis Bukhari. Ahmad Amin mengatakan, meskipun al-Bukhari tinggi reputasinya dan cermat pemikirannya, tetapi dia masih menetapkan Hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah, karena penelitiannya terbatas pada kriktik sanad saja. Di antara hadis yang dikritiknya adalah tentang”Seratus tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi”. Dan “barang siapa makan tujuh kurma ajwah setiap hari, ia akan selamat dari racun maupun sihir pada hari itu sampai malam”.
Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa apabila suatu hadis bertentangan dengan sains atau sejarah yang sudah pasti, hadis itu harus ditolak meskipun ia terdapat dalam Sahih al-Bukhari, sebab menurutnya Imam al-Bukhari itu bukan seorang yang ma’sum (terbebas dari salah dan dosa). Seperti hadis tentang “Seandainya tidak ada Bani Israil , makanan dan daging itu tidak akan busuk”, adalah hadis daíf (tidak sahih) karena tidak sesuai dengan sains. Kata Muhammad al-Ghazali apa hubungan antara Bani israil dengan membusuknya daging? Membusuknya daging adalah masalah alami, tidak ada kaitannya dengan Bani israil.
Kritik-kritik dari kaum orientalis dan ulama kontemporer tersebut telah mendorong lahirnya pembela Imam al-Bukhari untuk menyanggah kritik-kritik tersebut. Di antara mereka adalah ahli hadis, Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Sibaí. Sanggahan mereka terhadap kritik-kritik tersebut semakin manambah kualitas Sahih al-Bukhari.
Sebagai akhir dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa Imam al-Bukhari adalah seorang ulama yang telah berjasa menghimpun dan membukukan hadis-hadis Nabi yang sahih. Beliau sangat cermat dan teliti dalam upaya memurnikan hadis dari bercampurnya dengan fatwa sahabat dan tabiín serta pemalsuan hadis dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Orientisitas dan kesahihan kitab Sahih al-Bukhari disepakati jumhur ulama dan umat Islam dan menempati peringkat teratas setelah Alquran. Sementara mengenai peringkat Sahih al-Bukhari terhadap Sahih Muslim dan sebaliknya ada sedikit perbedaan. Sebagian besar ulama mengunggulkan Sahih al-Bukhari daripada Sahih Muslim, sedangkan sebagian kecil dari mereka kebalikannya, mengunggulkan Sahih Muslim daripada Sahih al-Bukhari.
Banyaknya kritik yang ditujukan kepada kitab Sahih al-Bukhari dari segi sanad maupun matan, justru semakin memantapkan kedudukan kitab tersebut pada posisi lebih terhormat dari itu, hal tersebut mendorong munculnya ulama hadis sesudah al-Bukhari untuk membuat syarah maupun ikhtisar kitab sahih itu, dan membuat jawaban yang lebih luas dan mendalam terhadap kritik-kritik tersebut.