Menelisik Jejak Islam di Indonesia dari Masa Lampau

Haris Fauzi
4 min readMar 18, 2019

--

Islam Tempoe doeloe ~ Sumber gambar: Instagram Lokesywara

Apakah Indonesia sudah termasuk negara Islam? Itu sebuah pernyataan yang terkesan mudah sekaligus amat sulit untuk dijawab. Dan tentunya menimbulkan perbedaan pendapat sekaligus perdebatan panjang.

Sebagian kalangan umat Islam ada yang berpikir bahwa bentuk negara Indonesia yang sekarang ini sudah final dan tidak perlu diutak-atik lagi. Pancasila sebagai dasar negara bahkan sempat dijadikan sebagai satu-satunya asas terkhusus di era Resim Soeharto.

Sebaliknya, kalangan yang pro dengan negara Islam, tetap bercita-cita untuk mendirikan negara Islam, dengan beragam imaginasi yang mereka bayangkan. Yang menarik, seperti apa sosok negara Islam yang terlintas dalam benak mereka, ternyata juga tidak kompak antara satu pendukung dengan pendukung yang lain. Namun tidak ada salahnya kita akan mulai dari sejarah yang pernah diukir tentang cita-cita mendirikan negara Islam di negeri sendiri, baik yang mendukung maupun menolak

Dinasti Umayyah Sampai ke Sumatera

Pada tahun 651 Masehi, selisih sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan radhiyallahuanhu mengirim delegasi ke negeri Cina, untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan sang Khalifah ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara.

Tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Sejak Islam masuk ke Indonesia di abad ke tujuh itulah, pengamalan Islam tidak bisa dipungkiri telah dijalankan secara individu oleh masyarakat yang sudah memeluk Islam. Berbeda dengan sejarah versi Belanda yang bersumber dari orientalis Dr. Snouck Hurgronje, Islam masuk Indonesia bukan di abad ketiga-belas. Sayangnya, versi penjajah inilah yang saat ini menjadi kurikulum nasional sejarah yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi.

Dalam pandang Prof. Dr. HAMKA menjelaskan tentang awal mula penyebaran agama Islam di nusantara tahun 1972, beliau menegaskan bahwa Islam tidak dibawa oleh pedagang dari Gujarat India, melainkan langsung dibawa oleh para juru dakwah dari Jazirah Arabia. Namun harus diakui, hingga awal abad ketiga-belas, agama Islam belum menjadi sebuah dasar dari pemerintahan kerajaan. Meski sudah dipeluk oleh mayoritas khususnya masyarakat pesisir.

Arnold dalam The Preaching of Islam berargumen bahwa Orang barat yang bukan muslim ini mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik.

Munculnya Kesultanan Islam di Samudera Pasai dan Jawa

Periode dakwah Islam di Indonesia telah memasuki masa kerajaan Islam. Mulai dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh di abad XIII hingga Kesultanan Mataram Islam Jogjakarta di abad ini. Saat itu Islam bukan hanya sekedar agama yang besifat individu, tetapi juga sudah menjadi sebuah state, dalam format negara dengan memenuhi syarat negara modern, ada pemerintahan, rakyat dan wilayah. Bahkan pelaksanaan hukum hudud seperti potong tangan pencuri, merajam pezina, mencambuk peminum khamar dan seterusnya.

Kesultanan Samudera Pasai adalah kesultanan Islam pertama di Indonesia berdiri abad ke-13. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i.

Peran Wali songo di pulau Jawa yang dikenal membawa Islam masuk ke dalam istana. Bahkan pada akhirnya, Islam menjadi agama kerajaan secara sah dan resmi. Demak Bintoro adalah kesultanan secara utuh menjadi representasi sebuah negara Islam dalam arti sesungguhnya, dimana syariat Islam dijalankan sampai kepada hukum hudud dan seterusnya. Artinya, Indonesia atau tepatnya nusantara pada masa itu, baik secara keseluruhan atau secara bergantian pernah merasakan menjadi wilayah dari kesultanan Islam. Semua itu berakhir ketika penjajah bergantian datang ke negeri ini. Kala itu, setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu hukum tradisi, hukum Islam dan hukum barat.

Masa Kemerdekaan dan Alotnya Perdebatan

Bangsa Indonesia punya kesempatan untuk terlepas dari penjajahan serta memproklamasikan kemerdekaannya. Namun setelah kemerdekaan muncul dua kepentingan yang bermuara menjadi dua pihak. Pihak pertama adalah pihak nasionalis, meski beragama Islam, tetapi mereka tidak ingin Indonesia dijadikan negara Islam dengan berhukum kepada Quran dan Hadits. Pihak kedua adalah pihak konservatif. Mereka ingin Indonesia menjadi sebuah negara Islam secara formal, berlandaskan Quran dan Hadits, dengan menyelenggarakan syariat Islam seperti hukum potong tangan, hukum rajam dan seterusnya.

Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.

Namun untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu.

Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah jalan keluar yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia. Kalangan konservatif belum bisa berkontribusi dalam menetapkan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang secara formal memberlakukan bahkan mewajibkan pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya.

Smenjak saat itu. kalangan konservatif pun terpecah menjadi dua aliran yang saling berbeda jalan perjuangan .Sebagian kelompok memilih untuk memisahkan diri dari Indnesia. Namun sebagian lainya mau menerima hal tersebutdengan tetap memperjuangkan Islam dari dalam sistem. Mereka tetap ikut andil dalam pemerintahan, hingga tetap mewarnai jalannya negara ini dengan warna Islam yang kental.

--

--

Haris Fauzi
Haris Fauzi

No responses yet