Memecah Ketidakadilan Sistem Pembagian Gaji Nelayan
John Rawl melalui Teori keadilan yang merupakan teori yang lahir dari pemikiran progresif dan revolusionernya. Teori yang dibangunnya tersebut menawarkan sebuah metode cocok untuk memecahkan sebuah problem yang berkaitan dengan moralitas[1]. Teori keadilan yang didalamnya memuat tentang original contract dan original position adalah dasar baru yang mengajak orang-orang untuk melihat prinsip keadilan sebagai objek bukan sekedar sebagai alat masuk. Kita membayangkan Rawls ingin membawa teorinya dalam penerapannya di dunia politik, hukum, dan ekonomi sebagai ultimate understanding.
Kritik Rawls terhadap utilitarianisme klasik dan intuisionisme merupakan salah satu titik berangkat utamanya dalam menyusun sebuah teori keadilan secara menyeluruh. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya[2].
Rawls mencoba merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut: pertama, The greates equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud prinsip kesamaan hak. Prinsip The greates Equal Principle tidak lain adalah prinsip kesamaan hak, merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak.
Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau dua prinsip berikut, yaitu the different principle dan the principle of fair equality of opportunity Keduanya diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. The different principle dan the principle of fair equality of opportunity merupakan prinsip perbedaan objektif, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness.
Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proporsionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa jika dalam situasi konflik prinsip the greates equal principle harus lebih diprioritaskan ketimbang prinsip the different principle dan the principle of fair equality of opportunity. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity. harus lebih diprioritaskan ketimbang the different principle
Keadilan harus dipahami sebagai fairness[3], dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas kelebihan dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada bingkai kepentingan kelompok mereka yang kurang beruntung.
The different principle tidak menuntut manfaat yang sama bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik, misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Di sini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas, namun bukan berarti sekedar simply reciprocity, distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaaan objektif di antara anggota masyarakat. Oleh karenanya, agar terjamin suatu aturan main yang objektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula.
Bidang utama prinsip keadilan menurut Rawls adalah struktur dasar yang meliputi institusi sosial, politik, hukum, ekonomi, karena struktur institusi itu mempunyai pengaruh mendasar terhadap prospek kehidupan individu. Maka problem utama keadilan ialah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil, yaitu bagaimana prosedur pendistribusian pendapatan yang adil kepada masyarakat.
Siapapun yang ingin mengatahui tentang berbagi perjanjian yang ada dalam suatu masyarakat harus mengatahui struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan sistem hukum yang berlaku di masyarakat itu. Salah satu bentuk perjanjian yang sering dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia adalah perjanjian pengelolahan tanah, perdagangan, dan perikanan atau penangkapan ikan.
Komunitas nelayan merupakan salah satu komponen yang masuk dalam kategori masyarakat pantai. Penyebutan nelayan dikaitkan dengan profesi penangkapan ikan di laut. Dengan kata lain, nelayan adalah orang-orang yang mencari nafkah secara langsung dari laut yang berkaitan dengan penangkapan ikan. Orang-orang menjadikan laut sebagai sumber penghidupan, khususnya yang berhubungan dengan penangkapan ikan, disebut nelayan, terlepas dari variasi peralatan yang dimiliki[4].
Masyarakat Sarang menilai bahwa menjadi seorang nelayan adalah suatu hal lumrah dan tidak terlalu membebani. Memiliki sebuah pekerjaan seperti nelayan tidak memerlukan modal banyak, bahkan bisa dikatakan tanpa modal. Yang terpenting adalah modal nekat dan memiliki fisik yang kuat. Sedangkan ketrampilan untuk menjadi nelayan handal bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman selama melaut.
Bagi para nelayan bekerja merupakan suatu hal yang bertujuan memakmurkan dalam aspek ekonomi saja. Sehingga banyak sekali nelayan yang bekerja kepada majikannya dengan rasa patuh karena yang terpenting adalah mereka mendapat upah yang masuk akal dari hasil tangkapan selama mereka melaut. Ini berdampak pada bagaimana sistem pembagian gaji yang tanpa dasar dibuat masing-masing majikan kapal.
Sistem pembagian gaji atau upah nelayan ditentukan setelah kapal memperoleh hasil tangkapan ikan dan sudah terjual. Setelah mendapatkan nominal hasil tangkapan selama melaut, majikan kapal akan segera membagi hasil tersebut kepada para pekerjanya. Selama ini yang terjadi di Sarang memang belum ada perjanjian prosentase pembagian hasil tangkapan. Ketetapan yang digunakan sejak dulu hingga sekarang hanya bersifat menganut ketetapan umumnya majikan kapal. Jadi segala sistem yang berlaku dalam kapal dipegang kendali mutlak oleh majikan.
Namun dalam praktiknya banyak kejanggalan dalam sistem yang selalu dipegang secara turun-temurun itu. Bentuk kecurangan pada penentuan harga perbekalan kapal selama melaut sering ditemukan. Durasi lama perjalanan selama melaut sekitar 3 sampai 5 hari, dan itu membutuhkan perbekalan yang tidak sedikit. Mulai dari makanan, air, rokok, solar, es batu dan masih banyak lagi. Memang dalam segi perbekalan yang dibawa selama melaut mampu mencukupi kebutuhan dasar manusia terutama makanan. Yang menjadi ganjil adalah harga dari masing-masing perbekalan itu bukan mengacu pada harga pasar pada umumnya. Akan tetapi harga masing-masing perbekalan itu yang menentukan adalah para majikan kapal sesuai kehendaknya.
John Rawls mengatakan dalam menciptakan keadilan, dua prinsip utama yang digunakan, yaitu kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak dan prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah. Prinsip yang terakhir ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas kesempatan[5]. Dalam kasus seperti ini berarti telah terjadi penyelewengan kebebasan bagi para pekerja karena dalam kasus ini keuntungan hanya dimiliki oleh majikan kapal karena penentuan harga perbekalan yang ditentukan sendiri dan semakin merugikan bagi yang lemah atau pekerja.
Kejanggalan lainnya adalah terjadi dalam sistem pembagian gaji atau upah para pekerja. Dalam praktik pembagian gaji atau upah memang belum ada dasar pijakan yang jelas. Segala macam proses penjualan dan pengurusan pajak dan lain sebagainya sudah diurusi oleh para majikan. Sedangkan para pekerja yang kepayahan di rumah setelah melaut hanya berandai-andai berapa kisaran gaji yang diperoleh nanti setelah melihat hasil tangkapan selama melaut. Yang membuat peneliti ingin menguak sistem itu adalah adanya sisi penghisapan yang luar biasa dari majikan kepada para pekerja kapal.
Ide dasar John Rawls adalah bahwa prinsip yang benar tentang keadilan adalah sesuatu yang disepakati oleh orang yang bebas dan rasional untuk diterima sebagai acuan untuk menentukan tema-tema dasar dalam asumsi mereka, jika kesepakatan mereka dibuat di bawah kondisi yang fair bagi semua pihak.
Dalam hal ini para pekerja tidak mengetahui sistem yang dibuat sendiri oleh majikan. Dalam istilah John Rawls disebut sebagai the veil ignorance atau tabir ketidaktahuan, di situ para pekerja tidak tahu tentang keuntungannya dalam hal distribusi aset dan kemampun alamiah, baik kecerdasan, kekuatan, dan sifat-sifat psikologis. Sebenarnya sudah ada sebagian masyarakat yang ingin memberontak atas sistem tersebut akan tetapi masih dinaungi ketakutan dan bingung kepada siapa mereka mengutarakan maksud hatinya.
[1] Merujuk pada artikel Ben Rogers, John Rawls, dalam majalah Prospect
[2] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis(Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hlm. 239
[3] Frank N Mc Gill (ed), Masterpiece of World Philosophy (New York: Harper CP, 1990)
[4] ismail Arifuddin, Agama Nelayan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 79
[5] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995)