Memahami Tarekat dalam Ajaran Islam
“Wahai hamba-Ku, katakanlah, “Hatimu adalah dataran tertinggi di dalam dirimu, maka dari padanya engkau dapat memandang ke segala penjuru dengan mudah tanpa penghalang. Dan bertempatlah engkau padanya, sesungguhnya tiada pemandangan yang lebih terang yang engkau pandang daripada hatimu, sehingga dengannya engkau dapat menyaksikan zat yang terahasia dalam dirimu sendiri”.[1]
Demikian salah satu ilham sirriyah yang diterima oleh Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah. Dari ungkapan tersebut tergambar betapa penting dan mulianya taman hati tersebut. Sesuatu yang sangat rahasia akan tersingkap dengan jelas karena kebersihanannya, sesuatu yang sangat terang akan memancar darinya karena kemurniannya.
Hati bagaikan pintu gerbang menuju istana kebersamaan dengan-Nya, darinya seseorang akan melihat ke-MahaIndah-an wajah Tuhannya. Karena itulah lahir sebuah ungkapan قلب المؤمن من بيت الله “hati orang beriman termasuk rumah Allah”. Dalam mencari Tuhan, tidak perlu bepergian jauh, menghabiskan sekian banyak harta dan tenaga tetapi carilah Tuhan pada cermin hati dan kalbu masing-masing, sebab di sanalah Tuhan menampakkan cahaya makrifatnya.
“Apa anda pernah melihat Tuhan?”
Demikian pertanyaan salah seorang sahabat Ali ra. kepadanya. Ia kemudian menjawab, “Bagaimana aku menyembah yang tidak pernah aku lihat”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Maka Ali pun menjawab, “Dia tidak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”. Riwayat ini kembali mempertegas betapa pentingnya hati bagi para pencari Tuhan. Hanya saja, cahaya hati terkadang tidak memancar dalam diri seseorang karena banyaknya bintik-bintik hawa nafsu di dalamnya. Karena itulah pintu menuju Tuhan tidak akan terbuka selama hawa kita masih berdiri sebagai gunung yang tegak. Tetapi ia akan terbuka bila si pencari Tuhan telah mampu menaklukkan hawa nafsu atau egoismenya itu.
Berdasarkan kenyataan itu, sehingga para ulama –utamanya ulama sufi- berusaha mencari, mengamalkan, dan mengajarkan metode pendekatan diri kepada Tuhan, di antaranya melalui تزكية النفس (mensucikan hati) dan استغراق القلب بذكر الله (memenuhi hati dengan memperbanyak zikir kepadanya). Metode-metode yang diajarkan ulama tersebut lambat-laun dipraktekkan dan diamalkan secara kolektif dan bersama-sama. Dan inilah yang dikatakan “tarekat”.
Oleh karena itulah, terkait dengan kenyataan di atas, penulis menyusun sebuah makalah yang membicarakan persoalan tarekat dalam Islam, yang diharapkan darinya akan semakin jelas apa dan bagaimana tarekat tersebut. Wujud dan pengaruhnya sebagai jalan menuju Tuhan.
Sebuah ungkapan yang penulis anggap tepat digunakan untuk mengawali kajian ini adalah ungkapan sufi : اذا اردت ان تعرف مكانتك عند الله فاعرف مكانة الله فى نفسك “Bila engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Tuhan, maka ketahuilah di mana engkau meletakkan Tuhan dalam hatimu”.
Pengertian dan Substansi Tarekat dalam Islam
Untuk mendapatkan pengertian yang utuh dari suatu istilah, pertama-tama biasanya diuraikan tentang pengertian bahasa –etimologi- dari istilah tersebut. Demikian pula dengan term tarekat yang berasal dari bahasa Arab طريقة yang merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata طرق- يطرق- طريقة yang memiliki arti الكيفية (jalan, cara), الأسلوب (metode, sistem), المذهب (madzhab, aliran, haluan), dan الحالة (keadaan).[2] Pengertian ini membentuk dua makna istilah yaitu metode bagi ilmu jiwa akhlak yang mengatur suluk individu dan kumpulan sistem pelatihan ruh yang berjalan sebagai persahabatan pada kelompok-kelompok persaudaraan Islam.[3] Hanya saja tarekat dalam pembahasan ini bukan sekedar jalan atau metode biasa, tetapi jalan dan metode tersebut penekanannya pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tarekat adalah suatu jalan menuju Tuhan (Allah) yang dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat. Jalan tersebut dalam lingkup tasawuf memiliki makna ganda –sebagaimana disebutkan di atas. Pertama, pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi atau sekitar abad ke-1 dan ke-2 Hijriah berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Kedua, sesudah abad ke-11 M atau abad ke-3 H. tarekat mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.[4]
Dalam pengertian pertama, istilah tarekat masih berupa teori[5] yang digunakan untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui tingkat-tingkat pendidikan tertentu –berupa maqamat dan ahwal. Dengan kata lain tarekat merupakan usaha pribadi seseorang melewati jalan yang mengantarkannya menuju Allah SWT, jalan yang dimaksud –sesuai penjelasan Syekh Muhammad Nawawi al Banteni al Jawi- adalah melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunat, meninggalkan sesuatu yang bersifat larangan, menghindarkan diri dari melakukan sesuatu yang boleh secara berlebihan serta berusaha untuk bersikap hati-hati melalui upaya mujahadah dan riyadhah.[6] Sedangkan Haidar Bagir menjelaskan bahwa tarekat dalam arti yang pertama adalah jalan spiritual oleh seorang pejalan (salik) menuju hakikat. Untuk makna ini, ia identik dengan tasawuf.[7]
Dalam pengertian yang kedua, tarekat adalah kelompok-kelompok pengikut ajaran tasawuf yang menekankan praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif yang diikat oleh aturan-aturan tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi dan ukhrawi. Dengan kata lain, ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu yang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi berupa tata cara zikir, riyadhah, doa-doa yang telah diamalkan dan menurutnya –sang sufi- telah berhasil mendekatkan diri sang sufi kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa menjadi aturan/tata cara yang baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid tarekat.[8] Khusus dalam makalah ini, yang dimaksudkan dengan istilah tarekat adalah menurut pengertian yang kedua.
Karena pengalaman sufi sifatnya individual dalam artian sangat mungkin tidak sama antara satu sufi dengan sufi lainnya, maka dalam aplikasinya muncul tata cara dan atau aturan yang berlainan pula. Lebih jauh muncullah tarekat-tarekat dengan nama dan kaifiyat yang bermacam-macam.
Sebagai contoh, Syekh Abdul Qadir al Jailani -pendiri tarekat Qadiriyah- selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran tersebut adalah taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha dan jujur.[9] Bahkan di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh tarekat ini adalah zikir (terutama melantunkan asma’ Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaanya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga dan empat.[10]
Praktik zikir dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari. Setelah melakukan zikir, pelaku tarekat ini dianjurkan untuk melakukan apa yang disebut dengan pas al anfas yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan napas, asma’ Allah bersikulasi dalam tubuh secara otomatis. Kemudian ini diikuti dengan muraqabah dan kontemplasi.[11]
Hanya saja dari sekian banyak pengalaman pribadi para sufi tampaknya terdapat beberapa aturan dan cara yang bisa dikategorikan dalam kesepakatan mereka, yaitu; mendalami ilmu yang berkaitan dengan syariah, mengendalikan nafsu untuk menghindari dosa, memperbanyak zikir dan doa tertentu, serta tidak meringankan amaliah-amaliah yang dilakukan.[12]
Dari pengertian di atas terdapat indikasi bahwa substansi dari sebuah tarekat adalah التقرب الى الله (pendekatan diri kepada Allah SWT), hal ini dapat dipahami dari sekian banyak penjelasan ulama –utamanya yang terkait dengan pengertian tarekat. Misalnya saja Al Habib Asy Syaikh Al Sulthan Muhammad Sayyid Imaan bin Abdul Hakim Al Aydrus mengatakan bahwa tarekat adalah mengarahkan maksud (tujuan) kepada Allah Ta’ala dengan ilmu dan amal. Dikatakan juga bahwa tarekat merupakan perbuatan nafsaniyah yang tergantung kepada sir (rahasia) dan ruh dengan melakukan taubat, wara’, muhasabah, muraqabah, tawakal, ridha, taslim, memperbaiki akhlak, menyadari akan kekurangan dan cela pada dirinya, dan atau mengerjakan ibadah hanya karena mengharapkan keridha’an Allah SWT serta ingin mendapat Nur Makrifat.[13]
Oleh sebagian ulama, yang sering dijadikan landasan untuk hal ini adalah firman Allah SWT QS. Al Jin ; 16 :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan kalau sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan (tarekat) itu, niscaya Kami tetap menurunkan air hujan dari langit (memberi minum kepada mereka air yang segar)”.
Kaitannya dengan hal ini, Asmaran As mengutip salah satu riwayat yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, katanya “Ya Rasulallah, manakah jalan (tarekat) yang paling dekat untuk sampai kepada Tuhan?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak ada yang lain kecuali zikir kepada Allah”.[14] Dengan demikian jelaslah bahwa dalam menempuh jalan untuk bertemu Allah, orang harus memperbanyak zikir kepada-Nya, di samping melakukan latihan dan perjuangan yang memerlukan keuletan, kesungguhan dan kesabaran.[15]
Jadi sekali lagi, tarekat merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah yang teraplikasi lewat zikir yang banyak kepada-Nya. Akan tetapi, tarekat merupakan pengalaman pribadi sehingga aplikasi tersebut terkadang berbeda antara satu dengan yang lain. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa tidak ada batasan mengenai jumlah terakat itu, karena setiap manusia mestinya harus mencari dan merintis jalannya sendiri, sesuai dengan bakat dan kemampuan ataupun taraf kebersihan hati mereka masing-masing.[16]
Banyak ungkapan ulama sufi dalam menggambarkan jalan-jalan tersebut, di antaranya Abu Thalib al Makki dalam kitabnya Quwwat al Qulub menyebutkan : الطرق إلى اللّه بعدد الخليقة “jalan-jalan menuju Allah sebanyak jumlah makhluk”, ini berarti bahwa setiap orang mesti –sebaiknya- mencari jalan sesuai dengan kemampuannya.
Perkembangan Tarekat dalam Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, tarekat pada mulanya bersifat individual kemudian berkembang menjadi semacam organisasi. Namun sebelum lebih jauh berbicara mengenai perkembangan tarekat dalam Islam, perlu dilihat bahwa ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang pada masa awal dilaksanakan secara murni. Ketika Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran Rasul. Namun pada generasi-generasi berikutnya –sedikit banyaknya- telah mulai dan atau terdapat perbedaan pengamalan dengan generasi-generasi awal.
Sehingga dalam kajian ini, perkembangan –tasawuf- tersebut dapat dibagi ke dalam empat periode. Yaitu periode pertama, abad ke-1 dan ke-2 H. periode kedua, abad ke-3 dan ke-4 H. periode ketiga, abad ke-5 H. dan periode keempat, abad ke-6 H dan seterusnya.[17] Pembagian ini disebabkan oleh karena fenomena keberagamaan masyarakat Islam yang dari generasi ke generasi selanjutnya memiliki perbedaan satu sama lain atau bahkan nilai-nilai keberagamaan tersebut mengalami proses keelastisitasan. Proses tersebut itu jugalah yang menjadi cikal bakal lahir dan munculnya tarekat dalam Islam.
Periodisasi tersebut dimulai dari abad pertama Hijriah karena memang tasawuf itu sendiri muncul setelah masa sahabat dan tabi’in. tidak muncul pada pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal itu disebabkan oleh prilaku umat Islam masih sangat stabil, keberagamaan masih dilaksanakan secara seimbang, bahkan cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatism, materialism dan hedonisme.[18]
Namun sekalipun di masa tersebut belum ditemukan istilah tasawuf, mereka sebenarnya telah menjadi seorang sufi dengan tidak pernah mengagungkan dunia tetapi tidak juga meremehkannya, mereka selalu ingat kepada Allah sebagai Sang Pencipta langit dan bumi serta segala isinya
Periode Pertama (abad ke-1 dan ke-2 H)
Pada masa pertama Hijriah –atau paling tidak pasca Nabi dan sahabat- kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, perbincangan mengenai teologi dan formulasi syariat makin besar,[19] bahkan orang-orang pun mulai lalai pada sisi ruhani yang terbukti dengan budaya hedonisme yang menjadi umum. Sehingga timbul gerakan tasawuf yang bertujuan mengingatkan tentang hakikat hidup sekaligus menjadikan gerakan zuhud sebagai sebuah fenomena sosial.[20]
Gerakan-gerakan tersebut dipelopori oleh sahabat dan tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berusaha menanamkan semangat beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi yang kemudian berusaha hidup sederhana, baik dalam berpakaian, makan dan tempat tinggal. Di antara bentuk kesederhanaan mereka –utamanya dalam berpakaian- adalah berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), karena mereka dinamakan sufi. Termasuk dalam periode ini adalah Hasan al Bashri (110 H) dengan konsep khauf, dan Rabi’ah al ‘Adawiyah (185 H) dengan konsep cintanya.
Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa ajaran tasawuf pada periode pertama bercorak tasawuf akhlaki, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi.[21]
Periode Kedua (abad ke-3 dan ke-4 H)
Pada periode ini dapat dikatakan bahwa tasawuf kembali menjalani babak baru. Tema-tema yang diangkat kaum sufi pun lebih mendalam. Berawal dari pembicaraan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan di antara keduanya. Dari sini muncul tema-tema semacam makrifat, fana’, zauq dan lain sebagainya. Karena itulah menurut Prof. Dr. Hamka sebagaimana dikutip oleh Dr. Asmaran As, bahwa pada masa ini ilmu tasawuf telah berkembang dan telah memperlihatkan isinya yang dapat dibagikan kepada tiga bagian, yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak dan ilmu ghaib (metafisika).[22]
Periode ketiga (abad ke-5 H)
Berdasarkan kenyataan perkembangan tasawuf pada peiode kedua di atas, yang dapat dikategorikan dalam dua bentuk tasawuf sunni dan tasawuf falsafi[23], maka pada periode ketiga ini terjadi pembaharuan di dalamnya. Karena ternyata tasawuf sunni makin berkembang, sementara tasawuf falsafi mulai tenggelam dan baru muncul kembali di saat lahirnya para sufi yang sekaligus seorang filosof.
Akan tetapi kaitannya dengan tarekat, pada abad kelima hijriah ini tarekat –dalam pengertian kelompok zikir- baru muncul yang menjadi kelanjutan kaum sufi sebelumnya. Hal itu ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh sufi yang lahir pada masa itu. Tarekat seperti ini mulai bermunculan disebabkan oleh karena pada periode tersebut telah terjadi kehampaan spiritual sehingga untuk mengembalikan semangat spiritual itu maka dilakukan upaya pendekatan diri kepada Allah dalam bentuk tarekat, sekalipun pada periode ini kuantitas pengamalan tarekat masih cukup terbatas.
Periode keempat (abad ke-6 H. dan seterusnya)
Dalam perkembangan tasawuf, seperti yang disinggung di atas bahwa tasawuf falsafi yang muncul pada abad ke-3 dan ke-4 H. lalu kemudian tenggelam pada abad ke-5 H, selanjutnya muncul kembali pada periode abad ke-6 ini dalam bentuk yang lebih sempurna. Kesempurnaan yang dimaksud adalah semua praktek, pengajaran dan ide yang berkembang di kalangan kaum sufi diliput dan dijelaskan secara memadai, sebagaimana Ibnu Arabi dalam karyanya al Futuhat al Makkiyah dan Fusus al Hikam.[24]
Karena keadaan tasawuf yang seperti itu, sedikit banyaknya mempengaruhi perkembangan tarekat itu sendiri. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tarekat dalam pengertian kelompok dan organisasi zikir muncul pada abad ke-V H sekalipun dalam bentuk yang masih terbatas, maka pada periode ini (abad ke-VI dan seterusnya) tarekat-tarekat tersebut mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan dari kenyataan itu, oleh sebagian penulis dianggap bahwa lahirnya gerakan tarekat sebenarnya diawali pada abad keenam Hijriah.[25]
Setelah melihat perkembangan tasawuf di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada awalnya, utamanya pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriah tarekat masih merupakan jalan spiritual yang dilalui oleh seorang salik menuju hakikat, dengan kata lain tarekat dalam pengertian yang pertama. Nantilah abad setelahnya, abad ketiga dan keempat Hijriah, cikal bakal tarekat bermunculan. Dan selanjutnya pada abad keenam Hijriah terjadi perubahan arah dalam perkembangan tarekat dengan munculnya beberapa kelompok-kelompok tarekat. Yang diawali dengan datangnya Syaikh Abdul Qadir al Jailani (w. 561 H/1166 M) dengan sistem tarekat Qadiriahnya (sekaligus menjadi tarekat pertama).[26]
Sejak itu, berbagai macam tarekat mulai bermunculan, baik yang merupakan cabang dari tarekat Qadiriyah maupun tarekat yang berdiri sendiri. Tarekat-tarekat itu antara lain, tarekat al Rifaiyah yang diajarkan oleh Syekh Ahmad Rifa’I (w. 1182 M), tarekat al Kubrawiyah yang diajarkan oleh Najmuddin al Kubra (w. 1221 M), tarekat Syaziliyah oleh Abu Hasan al Syazili (w. 1258 M), tarekat Naqsyabandiyah oleh Bahauddin al Naqsyabandi (w. 1389 M), tarekat Syattariah oleh Abdullah al Syattar (w. 1428 M), dan tarekat al Khalwatiyah dari Zahiruddin al Khalwati (w. 1397 M).
Dalam proses pengajaran dan pengamalan masing-masing tarekat antara syekh dan muridnya, sehingga terjadi transformasi ilmu di antara keduanya. Murid yang telah sampai pada tingkatan tertinggi diberi ijazah untuk mengadakan dan mengajarkan tarekat tersebut. Maka secara otomatis penyebaran tarekat makin meluas.
Namun bukan hanya itu, terkadang seorang murid belajar tarekat bukan hanya dari satu orang atau satu jenis tarekat saja tetapi di antara murid tersebut yang mempelajari tarekat dari beberapa sumber dan masing-masing memberikan ijazah kepadanya untuk mengajarkan tarekat yang telah dipelajarinya sehingga terkadang dalam pengajaran tersebut si murid membuat kelompok tarekat baru yang menggabung dua atau beberapa tarekat yang telah dipelajarinya. Sebagai contoh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang merupakan tarekat gabungan antara Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang merupakan tarekat yang didirikan oleh ulama asli Indonesia Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Mekkah dan sangat dihormati.[27]
Ada beberapa hal yang membedakan di antara tarekat-tarekat tersebut. Pertama, al khirqah dan al zay yaitu semacam jubah berwarna yang dipakai oleh seorang syekh tarekat dan menjadi cirri khas dari tarekat tertentu. Hanya saja khirqah ini tidak cukup untuk membedakan semua tarekat yang ada karena ada beberapa tarekat yang memiliki khirqah yang sama, misalnya Qadiriyah, Sadiah, dan Bahamiyah yang sama-sama menggunakan khirqah yang berwarna hijau. Perbedaan kedua adalah bahwa setiap tarekat memiliki wirid dan hizb yang berbeda yang diciptakan oleh masing-masing syekh dari tarekat-tarekat tersebut.[28]
Sejarah Islam telah mencatat bahwa tarekat mengalami perkembangan pesat sehingga memasuki semua Negara Islam. Tarekat-tarekat tersebut memegang peranan penting dalam menjaga eksistensi dan ketahanan akidah umat Islam, bahkan ternyata organisasi-organisasi tarekat tersebut telah berhasil melanjutkan tradisi dakwah hingga ke pelosok dunia belahan barat Maroko dan belahan timur Indonesia.[29]
Catatan Kaki
[1] Ahmad Rahman, Sastra Ilahi; Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah (Pencerahan Bagi Hamba Pencari Tuhan) (Jakarta; Hikmah, 2004), cet. I, hal. 21.
[2] Ahmad Warson Munawwirr, Al Munawwir ; Kamus Arab-Indonesia (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, hal. 849.
[3] Muhammad Sabit al Fandi, dkk., Dairat al Ma’arif al Islamiyah (Teheran, Intisyirat Jahannam, t.th), jil. XV, hal. 172.
[4] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002), cet. II, hal. 99–100.
[5] Sebenarnya kurang tepat bila dikatakan bahwa tarekat –sekalipun pada masa-masa awal- dipahami sekedar teori yang digunakan untuk memperdalam syariat. Namun sekalipun demikian, pemaknaan tersebut ingin mengingatkan bahwa antara syariat dan tarekat tidak dapat dipisahkan karena tarekat merupakan suatu cara yang harus ditempuh, maka tidak dibenarkan meninggalkan syariah. Bahkan melaksanakan tarekat berarti melaksanakan syariah.
[6] Muhammad Nawawi al Jawi, Syarh Maraqi al ‘Ubudiyah ‘ala Matn Bidayat al Hidayat (Semarang; Toha Putra, t.th), hal. 4.
[7] Sekalipun dalam kajian tasawuf, tarekat termasuk salah satu aspek di dalamnya di samping istilah syariat hakikat dan makrifat. Namun dalam pengertian ini Tasawuf dapat diartikan sebagai usaha dalam menguatkan rohani dan mengesampinkan jasmaniah untuk mengenal Tuhan dengan segala kesempurnaannya. Dengan kata lain tasawuf adalah penyucian hati untuk menanamkan karakter dan akhlak mulia, sehingga dipahami bahwa tasawuf pada dasarnya adalah tatanan moralitas. Lihat Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Bandung; Mizan Pustaka, 2006), cet. II, hal. 14
[8] M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Miftahus Sufi (Yogyakarta; Teras, 2008), hal. 230.
[9] Hj. Sri Mulyati, dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta; Kencana, 2004), cet. I, hal. 38.
[10] Untuk lebih jelasnya mengenai bentuk-bentuk zikir tersebut dapat dilihat pada karya-karya Syekh Abdul Qadir al Jailani, misalnya Ghunyat li Thalibi Thariq al Haq, al Fath al Rabbani dan Futuh al Ghayb.
[11] Hj. Sri Mulyati, Op.Cit, hal. 44.
[12] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf (Makassar; Yayasan Fatiya, 2003), cet. I, hal. 116.
[13] Al Habib al Syaik al Sulthan Muhammad Sayyid Iman bin Abdul Hakim al Aydrus, Pelita Dalam Meniti Jalan “Thariqat” ; Adab dan Kelakuan Kaum Sufi (Makassar; Pustaka Refleksi, 2006), hal. 1–2.
[14] Penulis belum menemukan dengan pasti sumber riwayat di atas, hanya saja makna yang terkandung di dalamnya selaras dengan pertanyaan sahabat kepada Nabi sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Imam al Turmudzi : أن رجلا قال يا رسول الله إن شرائع الإسلام قد كثرت علي فأخبرني بشيء أتشبث به قال لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله , bahwasanya seseorang pernah berkata kepada Nabi, “Ya Rasulallah, sesuangguhnya syariat-syariat Islam terlalu banyak menurutku, karenanya beritakan kepadaku suatu amal yang bisa aku jadikan pegangan”, Rasulullah SAW menjawab, “Hendaknya lidahmu senantiasa basah untuk berzikir kepada Allah”. Lihat Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al Turmudzi, Sunan al Turmudzi (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. V, hal. 458.
[15] Asmaran As, Op.Cit, hal. 100–101.
[16] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 40.
[17] Untuk lebih jelasnya lihat Asmaran As, Op.Cit, Hal. 255.
[18] M. Alfatih, Op.Cit, hal. 23.
[19] Lihat Hj. Sri Mulyati, Op.Cit, hal. 6
[20] M. Alfatih, Op.Cit, hal. 24.
[21] Asmaran As, Op.Cit, hal. 255.
[22] Ibid, hal. 257.
[23] Tasawuf sunni maksudnya adalah seorang atau para sufi dalam mempelajari dan mengajarkan serta menyampaikan ajaran-ajaran tasawuf tidak terlepas dari ajaran-ajaran al Qur’an dan hadis. sementara tasawuf falsafi bermakna seorang sufi menyampaikan ajaran tasawuf atau pengalaman spiritualnya dengan kata-kata yang ganjil kedengaran dan sulit dimengerti dan atau bahkan terkadang mengarah kepada penyimpangan beragama.
[24] Ibid, hal. 264.
[25] Ummu Kalsum, Op.Cit, hal. 117.
[26] Terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa tarekat yang pertama muncul adalah tarekat al Suharwadiyah yang disandarkan pada Abdul Qadir Abu Najih al Suharwardi (w. 1168 M). lihat Annamarie Schimmel, Mistical Dimension of Islam, diterjemahkan oleh Sapardi Joko Damono dengan judul Dimensi-dimensi Misttik dalam Islam (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1986), cet. I, hal. 250.
[27] Hj. Sri Mulyati, Op.Cit, hal. 19
[28] M. AlFatih, Op.Cit, hal. 233–234.
[29] H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintas Sejarah (Jakarta; Bharata Karya Aksara, 1983), hal. 13.