Kiprah KH R Muhammad Adnan dalam Membumikan Tafsir di Tanah Jawa
Tafsir al Qur’an Suci Basa Jawi hadir sekarang ini berkat usaha dan jerih payah tiga tokoh utama. Yaitu, Tafsir Anom V sebagai pemilik gagasan, KH R Muhammad Adnan sebagai penulis ulang dan pengembang gagasan, dan H. Abdul Basith Adnan sebagai pengumpul dan penyelaras akhir.
Seperti yang telah dijelaskan Kyai Adnan dalam pengantar tafsirnya, bahwa lahirnya Tafsir Basa Jawi ini bermula dari perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala, di bawah asuhan Tafsir Anom V yang telah menerbitkan Terjemah Al Qur’an Basa Jawi 30 Juz dengan huruf Arab Pegon pada tahun 1924. Karena banyak yang membutuhkan karya Tafsir Anom V tersebut, maka Kyai Adnan memiliki inisiatif untuk menulis ulang dengan menggunakan bahasa Jawa krama halus dengan huruf latin. Dimulai pada tahun 1953, dan dibantu oleh H. Abdul Basith Adnan, putera Kyai Adnan, akhirnya pada tahun 1969 kitab Tafsir al Qur’an Suci Basa Jawi dengan huruf latin bisa dicetak untuk pertama kalinya.
Raden Penghulu Tafsir Anom V merupakan penghulu ageng ke-18 dalam dinasti Kartasura. Nama Tafsir Anom diambil dari bahasa Arab Tabsyir Anam berarti pembawa kabar gembira. Lidah orang Jawa menyebutnya Tafsir Anom.[1] Nama aslinya Raden Muḥammad Qamar. Ia lahir pada tahun 1854 di lingkungan pengulon, Surakarta Hadiningrat dan merupakan anak keenam dari Raden Penghulu Tafsir Anom IV. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan belajar mengaji Alquran pada sang ayah dan Kiai Mukmin di Kampung Gajahan.[2]
Pada 1815, ketika umurnya menginjak 30 tahun, Sri Susuhunan Pakubuwana IX mengangkatnya sebagai penghulu ageng kraton menggantikan ayahnya yang meninggal beberapa waktu sebelumnya. Sebagai penghulu ageng yang membawahi semua penghulu di tingkat kabupaten, Raden Penghulu Tafsir Anom adalah penasehat raja di bidang keagamaan yang membuatnya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keluarga istana. Penghulu memerankan fungsi dan tugas sebagai kepanjangan tangan raja yang berkaitan dengan syariat Islam.[3]
Keberadaannya sudah ada sejak pada masa keraton Kartasura. Dia mengabdi sebagai penghulu ageng selama 49 tahun. Kesehariannya seringkali memakai jubah dan sorban. Ketika pengabdiannya telah mencapai 20 tahun, dia mendapatkan berbagai penghargaan dan gelar Kanjeng dan Pangeran Sentara. Ia meninggal pada 21 September 1933 dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.[4]
Salah satu anak Tafsir Anom V ini adalah Kiai Adnan, salah satu tokoh penting gerakan sosial, politik dan keagamaan di Surakarta pada masa revolusi fisik. Kiai Adnan merupakan anak ketiga Tafsir Anom dari sembilan saudara kandung, meskipun beberapa catatan silsilah keluarganya juga ada yang menyebutnya sebagai anak keempat.[5]
Kiai Adnan lahir pada tanggal 16 Mei 1889 di kompleks pangulon Kauman, Keraton Surakarta, Jawa Tengah. Ia tinggal di rumah tradisional Jawa berbentuk joglo serta berpendapa besar, sebuah protipe rumah bagi bangsawan. Nama kecilnya adalah Muhammad Shauman. Kakeknya, Penghulu Tafsir Anom IV, menjabat penghulu pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana VII-IX.
Dalam silsilah keluarga disebutkan bahwa silsilahnya sampai pada Sultan Syah Alam Akbar III atau R. Trenggono, Sultan Demak terakhir. Kiai Adnan merupakan keturunan penghulu secara turun-temurun. Ini berbeda dengan Tafsir Anom VI yang ketika meninggal tahun 1956 tidak digantikan oleh keturunan pengulon, tetapi pihak Kraton mengangkat pejabat senior di bidang agama Islam (Juru Suronoto/- Mutihan) yaitu R.T. Hadipaningrat alias Abdul Mukti.[6]
Pada masa kecil hingga remaja, Kiai Adnan hidup di tengah masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya feodal. Stratifikasi masyarakat Jawa tampak pada pembagian kelas sosial para raja (monarkhi), kepala daerah (provinsi), kepala desa, dan masyarakat desa.
Dibanding ayahnya, Penghulu Tafsir Anom V yang sering memakai jubah dan sorban, Kiai Adnan kerap memakai batik, berjas beskap hitam berenda-renda dan di punggungnya diselipkan keris sebagai kelengkapan busana tradisional Jawa. Tutup kepalanya bercorak khusus, kombinasi model udheng Jawa dan sorban yang berwarna putih. Pakaian model ini dipakai dalam tugas dinas ke kantor Yogaswara (Departemen Urusan Agama Kraton), atau menghadap Sri Susuhunan ke Kraton.
Kiai Adnan pertama kali belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pengetahuan membaca dan menulis Jawanya diperoleh di sekolah partikelir di Solo. Sedangkan pengetahuan baca tulis latin dan pengetahuan umum lainnya diperoleh dengan mengundang guru ke rumahnya. Pada waktu itu belum banyak sekolah yang didirikan. Sekolah Rakyat seperti Volksscool (Sekolah Desa) maupun HIS (Hollands Inlandse School) masih sangat sedikit jumlahnya.
Kiai Adnan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat dan Sekolah Manbaul Ulum yang didirikan ayahnya. Ia lulus dari Madrasah Manbaul Ulum pada usia tujuh belas tahun dan memperoleh Syahadah Islamiyyah (ijazah) peringkat pertama pada 21 April 1906. Ia juga sempat belajar Islam di beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Mangunsari, Pesanten Tremas Pacitan dan Pesantren Jamsaren.
Setelah selesai belajar di pesantren, pada tahun 1908 Kiai Adnan kemudian pergi ke Mekah untuk memperdalam Islam selama delapan tahun (1908–1916). Ia berguru pada Syekh Mahfuz Al-Tarmasi (1868–1919), ulama asal Tremas, Pacitan; Syekh Ahmad Shata‘ dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Setelah kembali ke tanah air tahun 1916, ia lalu menikah dengan Siti Maimunah (w. 1943), putri seorang saudagar yang dermawan, Haji Ahmad Shofawi.
Atas bantuan mertuanya tersebut, tahun 1928 didirikan Masjid Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Ta‘mirul Islam, Surakarta. Ia kemudian tinggal di Jalan Bumi 9, Kampung Tegalsari. Dari perkawinannya tersebut, Kiai Adnan dianugerahi 15 orang anak. Tetapi, putra-puterinya yang pertama sampai keenam meninggal pada usia balita.
Pada 21 April 1930, Kiai Adnan dianugerahi putra ketujuh bernama Abdul Hayiy lalu lahirlah putra-putrinya yang lain. Di antara putra-putrinya dari hasil pernikahannya dengan Siti Maimunah adalah: Abdul Hayyi (1930–2003), Abdullah Adnan (1931–1999), Abdul Basit Adnan (1933–2003), Muhtaromah (1936–2002), Abdul Hakim (1937–1996), Abdul Nur (lahir 1938), Abdul Hadi (lahir 1940) dan Abdul Latif (lahir 1943).
Setelah Maimunah meninggal, Kiai Adnan lalu menikah lagi dengan Salamah pada bulan Desember 1943.36 Kiai Adnan meninggal pada 24 Juni 1964 dan dimakamkan di makam Barisan Kiai, Pajang, Surakarta.[7]
[1] Ma‘mun Pusponegoro, Kauman: Religi, Seni, Dan Tradisi (Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik, 2007), 35.
[2] Akhmad Arif Junaidi, ―Penafsiran Al-Qur‘an Penghulu Kraton Surakarta: Interteks dan Ortodoksi.
[3] Tentang penghulu, lihat Muhamad Hisyam, Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under The Dutch Colonial Administration 1882–1942 (Jakarta: INIS, 2001). Lihat juga Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, Peranannya pada Masa Kolonial (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
[4] Akhmad Arif Junaidi, ―Penafsiran Al-Qur‘an Penghulu Kraton Surakarta: Interteks dan Ortodoksi.‖132–133.
[5] Hakim Adnan, Masjid Tegal Sari Sala Genap 65 Tahun (Solo: Asya Grafika, 1999), 20.
[6] S. Supriyanto, Harmonisasi Islam dan Budaya Jawa dalam Tafsir Kitab Suci Al Qur’an Basa Jawi, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 3, 1 (Juni: 2018). Hlm. 20.
[7] S. Supriyanto, Harmonisasi Islamdan Budaya Jawa dalam Tafsir Kitab Suci Al Qur’an Basa Jawi, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 3, 1 (Juni: 2018). Hlm. 21–22.