Jenjang Bahasa Jawa dalam Tafsir Al Ibriz

Haris Fauzi
12 min readSep 17, 2021
Ilustrasi Tafsir al-Qur’an

Pada tafsir-tafsir Nusantara yang beragam bahasa dan aksaranya terlihat adanya jenjang, baik jenjang tafsir itu sendiri di tengah karya-karya tafsir lain, maupun jenjang pembaca yang menjadi sasarannya.[1]

Terkait jenjang dalam bahasa, bahasa Jawa diketahui memiliki tingkatan/jenjang (unggah-ungguh), di mana tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya bergantung pada pihak-pihak yang berdialog.

Ada tiga tingkatan dalam bahasa Jawa yang digunakan dalam Tafsir Al-Ibrīz, yakni: Ngoko (kasar), Krama Madiya (halus), dan Krama Inggil (sangat halus).[2] Namun kadang-kadang ada juga sedikit percampuran istilah-istilah bahasa Indonesia yang digunakan.

Pertama, penggunaan Ngoko. Tingkatan ngoko yang paling mudah dipahami oleh semua kalangan Jawa, dipilih pula oleh Bisri Musthofa tatkala menafsirkan ayat-ayat yang pesannya perlu dipahami dengan cepat oleh masyarakat Jawa, baik itu ayat yang berisi dialog maupun bukan. Misalnya tentang penciptaan Allah, tentang masa, dan lain-lain.

ü Tentang penciptaan Allah, dalam (Q.S. al-Nahl/16: 69).

Banjur tawon didawuhi supaya mangan sangking sekabehane warnane buah-buahan lan supaya ngambah dalane Allah Ta’ala sarana lapang. (papan kang angel-angel kang ora bisa ditekani menungso bisa diambah dening tawon tanpa ngerusak kiwa tengen lan senajan adoh kaya apa tawon bisa bali marang sarange). Sangking wetenge tawon-tawon iku bisa metu omben (yoiku madu) kang bedho-bedho wernane, ana kang puteh, kuning lan abang. Madu mau ngandung obat tambane menungso. Sak temene mangkunu iku cukup kanggo ayat tondo kekuasaane Allah Ta’ala tumrap kaum kang gelem mikir.[3]

Kemudian Allah menyuruh lebah agar memakan makanan dari berbagai macam buah-buahan agar supaya menambah jalan menjadi sarana yang luas. (tempat-tempat yang sulit dijangkau manusia bisa didatangi lebah tanpa merusak kanan dan kiri tempat tersebut, meskipun demikian, seberapa jauhnya tawon bisa kembali ke sarangnya). Dari perut lebah-lebah tersebut bisa keluar air (yaitu madu) yang berbeda-beda warnanya, ada yang putih, kuning dan merah. Madu tersebut mengandung obat yang dapat menyembuhkan manusia. Yang demikian itu, cukup sebagai tanda kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang mau berfikir.

Bahasa yang digunakan dalam menafsirkan ayat ini adalah bahasa Ngoko, hal ini bisa dilihat dari kata mangan (makan): bahasa Ngoko (dahar: Krama), weteng (perut): Ngoko (padaran: Krama). Bahasa ini umum digunakan masyarakat pedesaan jawa terutama di Rembang, tingkat bahasanya sederhana sehingga lebih mudah dicerna audien atau masyarakat yang mendengarkannya. Di dalam ayat ini pula tidak ada dialog antara dua orang atau lebih yang bisa membedakan strata (tinggi rendah) nya kedudukan orang yang berdialog, sehingga bahasa yang digunaan menggunakan ngoko madya yang langsung ditujukan kepada masyarakat.

ü Tentang masa (Q.S. al-‘Asrh/103: 1–3)

Demi mongso, utowo demi wektu sore, temenan menuso iku podho kapitunan. Kejobo wong-wong kang podho iman lan podho ngamal soleh, kang ora podho kapitunan. Mulo siro kabeh podhoho weling-welingan sabar ngelakoni ta’at lan sabar ngedohi maksiat.[4]

Demi masa, atau demi waktu sore. Sesungguhnya manusia itu benarbenar dalam kerugian. Hanya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salehlah yang tidak merugi. Maka, hendaknya kalian saling menasihati untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjahui maksiat.

Semua masyarakat Jawa dari bermacam kalangan bisa memahami dengan mudah dan jelas tafsiran di atas. Contoh-contoh di atas merupakan metode khas dan bisa dikatakan baru dalam khazanah tafsir lokal. Dalam konteks jenjang bahasa, khususnya bahasa Jawa yang memiliki tingkatan bahasa yang khas, mufasir (K. H. Bisri Musthofa) berusaha menyesuaikan diksi dalam tafsirnya dengan konteks ayat, subjek, dan objek yang terlibat dalam dialog.

Kedua, penggunaan Krama Madiya dan Krama Inggil. Penggunakan bahasa ini sering ditemukan dalam penafsiran ayat mengenahi qisas atau kisah nabi, Ashāb al-Kahf dengan Raja Romawi, dialog antara Nabi Muhammad dengan seorang konglomerat Arab-Quraisy, antara Allah dengan Iblis, juga antara Khidir dengan Musa dan lain-lain.

ü Percakapan antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir (Q.S. al-Kahf/18: 66–67).

Nabi Musa matur marang (Nabi Khidir), “Menopo kawulo kepareng nderek panjenengan saget penjenengan mucal dateng kawulo, sangking ilmu-ilmu ingkang sampun keparingan kang dateng panjenengan?” (Nabi Khidir) mangsuli, “Saestunipun panjenengan mboten bade kiat nyabar-nyabaraken penggalih sesarengan kelayan kawulo.”[5]

Nabi Musa berkata kepada Nabi Khidr, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu-ilmu yang yang telah diajarkan kepadamu?” Nabi Khidr menjawab, “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup menyabar-nyabarkan hatimu ketika bersamaku.”

Di sini Bisri Musthofa menafsirkan dialog antara kedua nabi tersebut dengan bahasa Jawa yang bertingkatan krama inggil, meskipun keduanya berada pada strata yang sama, yakni strata nabi. Terlihat dengan penggunakan kata kawulo dan panjenengan (bahasa ngoko : kawulo: aku, panjenegan: kowe). Barangkali, krama inggil dipilih oleh Bisri Musthofa untuk menunjukkan bahwa kedua nabi tersebut saling menunjukkan rasa hormat antara satu dengan lainnya. Rasa hormat Nabi Musa kepada Nabi Khidr sama dengan rasa hormat seorang calon murid kepada gurunya, sedangkan rasa hormat Nabi Khidr kepada Nabi Musa bisa jadi karena beliau tahu bahwa Nabi Musa adalah hamba yang dimuliakan oleh Allah. Boleh jadi juga, Bisri Musthofa hendak menggambarkan kalau Nabi Khidr menunjukkan rasa hormatnya kepada seseorang yang baru dikenalnya. Di sini tampak bahwa Bisri Musthofa memiliki cita rasa bahasa Jawa yang mumpuni.

ü Percakapan antara Nabi Isa dengan kaumnya (Surah al-Mā’idah/5: 112).

Kanjeng Nabi supoyo nggandarake naliko Hawariyyin podo matur, “Ya Isa bin Maryam! Menopo Pengeran panjenengan kadumugen nurunake dateng kito sedoyo, lampadan sangking langit?” Nabi Isa ngunandiko, “Siro kabeh podhoho taqwa marang Allah, yen siro kabeh podo iman.”[6]

Hendaklah Nabi Muhammad mengisahkan kejadian ketika kaum Hawariyyin berkata, “Wahai Isa bin Maryam! Sanggupkah Tuhanmu menurunkan kepada kami hidangan dari langit?” Isa menjawab, “Bertakwalah kalian kepada Allah, jika kamu betul-betul orang yang beriman.”

Terkadang penggunakan dua bahasa jawa ngoko dan krama Inggil dalam tafsir al-Ibriz sering digunakan secara bersamaan. Seperti halnya dalam menafsirkan dialog antara masyarakat lemah dengan Zulkarnain yang sudah dijelaskan sebelumnya, begitu pula dialog antara kamu Hawariyyin (pengikut Nabi Isa) dengan Nabi Isa juga disajikan oleh Bisri Musthofa dengan dua tingkatan bahasa, ngoko dan krama Inggil. Tingkatan krama inggil digunakannya dalam menafsirkan permintaan kaum Hawariyyin: “Ya Isa bin Maryam! Menopo Pengeran panjenengan kadumugen nurunake dateng kito sedoyo, lampadan sangking langit?”, sedangkan bahasa ngoko dipilihnya untuk menafsirkan tanggapan Nabi Isa, “Siro kabeh podhoho taqwa marang Allah, yen siro kabeh podo iman”. Dengan begitu, Bisri Musthofa seolah mencoba menggambarkan bahwa seorang nabi mestilah membimbing kaumnya dengan bahasa yang mudah mereka pahami, agar pesan yang disampaikan mudah dicerna.

ü Percakapan antara Zulkarnain dengan masyarakat lemah (Surah al-Kahf/18: 93–94).

Hinggo arikalane Zulkarnain tumeko ono ing antarane benteng loro (yo iku gunung gede duwur loro alus longgar pisan, ono ing tapal batas ono ing negoro Turki) ono ing kono Zulkarnain nemu golongan menuso kang meh-meh ora paham omongane (ateges ora ngertiomongan yen ora dibarengi isyarat) koyo wong bisu. Wong-wong iku podo matur (kanti perantara juru boso), “Ya Zulkarnain! Saestu golongan Ya’juj Ma’juj puniko piyambakipun tansah sami damel risak, (ngumpak, ngruyak, lan inggih nedo tiyang menawi ndang wekdalipun sami medal). Punopo panjenangan kerso, umpami kawulo sedoyo ngaturaken pengebang-pengebang arto, ingkang supados panjenengan damelaken benteng ingkang ambentengi antawisipun kawulo sedoyo lan golongan Ya’juj Ma’juj, supados sami mboten medal? Awit merginipun namung ngriki puniko. Bilih ngriki puniko sampun dipun buntu, piyambakipun mesti mboten saget medal.[7]

Hingga ketika Zulkarnain telah sampai di antara dua benteng (yaitu dua gunung besar dan longgar di tapal batas negara Turki), di sana dia mendapati segolongan manusia yang hampir tidak mengerti pembicaraannya (yakni tidak dapat memahami pembicaraan bila tidak dibarengi dengan isyarat) seperti orang bisu. Mereka berkata kepadanya (melalui juru bicara), “Wahai Zulkarnain! Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj selalu berbuat kerusakan di muka bumi (mereka merusak, merompak, bahkan memangsa manusia ketika mereka keluar). Maukah engkau, bila kami menghaturkan kepadamu uang, agar engkau membuatkan benteng guna menghalangi antara kami dengan Ya’juj dan Ma’juj, biar mereka tidak dapat keluar? Hanya daerah inilah jalan keluar mereka. Begitu wilayah ini dibuntu, mereka pasti tidak akan dapat lagi keluar.”

Laporan rakyat jelata kepada Zulkarnain tersebut (yang disampaikan melalui juru bicara mereka), oleh Bisri Musthofa, disajikan dengan bahasa Jawa pada tingkatan krama. Hal itu terlihat, misalnya, dari penggunaan kata “saestu” yang padanan katanya dalam tingkatan ngoko adalah “tenanan/tenan”. Inilah unggah-ungguh dalam bahasa Jawa, di mana orang dengan strata sosial lebih rendah mesti menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan orang yang berasal dari strata di atasnya. Zulkarnain, sebagai raja, kemudian menjawab laporan mereka dengan bahasa ngoko, sebagai berikut.

Zulkarnain ngendiko gegampangan, “Tumeraping sembarang kalir kang wus keparingan deneng pangeran ingsun marang ingsun, iku sejatine luweh bagus ketimbang opo kang siro janjiake (ingsun ora butuh opahan, nanging tetep ingsun arep tulung anggaweake benteng siro kabeh). Ingsun kudu podo siro bantu sarono kekuatan kang ono. Ingsun arep anggaweake benteng kang nutup antarane siro kabeh lan Ya’juj Ma’juj.[8]

Zulkarnaian dengan enteng menjawab, “Apa saja yang telah Tuhan karuniakan kepadaku, sungguh itu semua lebih berharga daripada apa yang kalian janjikan kepadaku (Aku tidak butuh upah, tetapi aku akan tetap membantu kalian dengan membuatkan benteng itu). Kalian harus membantuku dengan segala kekuatan yang ada. Aku akan membuatkan bagi kalian benteng yang menjadi penghalang antara kalian semau dengan Ya’juj Ma’juj.

ü Percakapan antara Allah dengan Nabi Zakaria (Surah Maryam/19: 8–10).

Nabi Zakaria matur, “Duh Pengeran! Kados pundi sagetipun gadah anak, tiang wujudipunsimah dalem puniko gabuk, tur dalem puniko sampun dumugi ngumur sepuh.” Allah ta‘ala dawuh, “Perkoro iku, iyo wes ngono iku.” Pengeran iro dhawuh, “Nitahake anak sangkeng siro loro iku mungguh ingsun (Allah) perkoro gampang. Ingsun nitahake siro di anukahe, siro asal iyo ora rupo opo-opo.” (Sangking berantane marang enggaling tumekane anak kang dijanjiake) Nabi Zakaria matur, “Duh Pengeran? Embok inggih mugi Panjenengan dalem kepareng paring ngalamat tondo (bilih simah dalem ngandut).” Allah ta‘ala dhawuh, “Ngalamat iro menowo bojo iro ngandut iyo iku menowo siro ora biso guneman karo menuso telung bengi ing hale siro waras ora loro opo-opo.[9]

Nabi Zakaria berkata, “Wahai Tuhan! Bagaimana bisa aku akan mempunyai anak, sedang istriku adalah seorang wanita yang mandul dan aku sendiri sudah sangat renta?” Tuhan berfirman, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Menciptakan anak dari kalian berdua bagi-Ku (Allah) adalah hal yang mudah saja. Sunguh, Aku telah menciptakanmu sebelum itu, padahal kamu ketika itu belumlah berupa apa pun.” (Karena tidak sabar dengan kedatangan anak yang dijanjikan itu) Nabi Zakaria berkata, “Wahai Tuhan! Berilah aku tanda (bahwa istriku hamil).” Tuhan berfirman, “Tanda bagimu perihal kehamilan istrimu adalah bahwa kamu tidak dapat berbicara dengan orang lain selama tiga malam, padahal kamu tidak sakit apa pun.”[10]

Di sini Bisri Musthofa menampilkan dua tingkatan bahasa Jawa: ngoko dan krama madya. Kategori ngoko bisa dilihat misalnya pada frasa ora rupo opo-opo (tidak berupa apa-apa) dan ora biso guneman karo menuso telong bengi (tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam), sedangkan kategori krama madya terlihat misalnya pada frasa kados pundi sagetipun gadah anak (bagaimana saya punya anak). Dialog tersebut antara Tuhan kepada hambanya yaitu Nabi Zakariya. KH. Bisri menggunakan bahasa krama Inggil ketika mendialogkan Nabi Zakariya kepada Allah karena kedudukannya lebih rendah dari Tuhannya, begitu pula ketika Allah berbicara kepada nabi Zakariya menggunakan bahsa ngoko karena kedudukan Tuhan jauh lebih tinggi.

ü Percakapan antara Nabi Musa dengan Firaun (Surah al- A‘rāf/7:104–108).

Nabi Musa ngendiko, “Rojo Firaun! Kawulo meniko utusanipun Pengeranipun alam sedoyo meniko.” (Firaun angrungoake kanti angguk-angguk). Panjenengan anggeraken? Terserah! Kulo kiyambak sampun sewajaripun kedah ngaturaken dhawuh-dhawuh ingkang haq. Kawulo sowan panjenengan mawi ambekto bayyinah (tanda bukti) sangking Pengeran panjenengan. Panjenengan kedah ngelepasaken (marengaken) Bani Israil kulo ajak wangsul deneng Palestin, negoronipun nenek moyang.” Firaun ngendiko, “Musa! Menowo siro anggowo tondo bukti, embok iyo jajal tekakno! Mesti ra iyo temen-an biso nekakno tondo-tondo iku.” Mireng pangucape Firaun iku, Nabi Musa banjur nguncalake tongkate. Sak kolo nuli dadi ulo gede banget. Nyoto ulo, lan Nabi Musa nuli ngelebokake asto tengen ono ing gulune kembane, nuli ditokake maneh wes dadi nyermumung padhang nyeruwat ngungguli sruwate serngenge.[11]

Nabi Musa berkata, “Hai Firaun! Sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan alam semesta ini. (Firaun mendengarkan sambil manggutmanggut). Apakah Engkau menyepelekanku? Terserah! Aku sendiri sudah sewajarnya mengatakan perkataan-perkataan yang hak. Aku menghadap kepadamu dengan membawa bayyinah (tanda bukti yang nyata) dari Tuhanmu. Engkau harus melepaskan (membiarkan) Bani Israil kuajak pulang ke Palestina, negeri nenek moyang kami.” Firaun menjawab, “Musa! Jika benar engkau membawa tanda bukti, datangkanlah! Pasti engkau tidak akan bisa mendatangkan tanda bukti itu.” Mendengar ucapan Firaun, Nabi Musa lantas melemparkan tongkatnya. Seketika itu pula juga tongkat tersebut berubah menjadi ular yang sangat besar; nyata-nyata ular. Nabi Musa juga memasukkan tangan kanannya ke kerah bajunya, lalu ia mengeluarkannya, dan seketika itu menjadi bercahaya dengan sangat terang, mengalahkan cahaya matahari.

Pada ayat ini Bisri Musthofa menggunakan tingkatan diksinya pada bahasa ngoko dan krama Inggil. Bahasa krama inggil digunakan oleh Nabi Musa ketika menyampaikan dakwah kepada Firaun, “Kulo kiyambak sampun sewajaripun kedah ngaturaken dhawuh-dhawuh ingkang haq.” Sebaliknya, Firaun menjawab dakwah Nabi Musa dengan bahasa ngoko, “Embok iyo jajal tekakno, mesti ro iyo temenan biso nekakno tondo-tondo iku.” Penggunaan bahasa krama tidak sedikit pun menurunkan derajat Nabi Musa sebagai nabi, tetapi justru menunjukkan bahwa seorang nabi memiliki sifat lemah lembut dan bertutur kata yang sopan. Sebaliknya, ucapan Firaun dalam bahasa ngoko atau kasar menunjukkan keangkuhannya sebagai seorang pemimpin dan menganggap remeh siapa saja yang diajaknya berdialog, tidak terkecuali jika orang itu adalah seorang Nabi.

ü Percakapan antara Allah dengan Nabi Musa (Surah al-Qashash/28: 30–33).

Nuli arah jurang sisih tengen ono ing siji panggonan kang diberkahi, iyo iku sangking arah kekayon kang tukul ono ing jurang mahu, surasane timbalane mahu, “Hei Musa! Sejatine ingsun, iyo ingsun iki, iku Allah kang mengerani alam kabeh.” Lan timbalan mahu ugo suroso, “Siro uncalno tongkat iro!” Bareng Nabi Musa ningali tongkate, katon obah-obah, koyo-koyo tongkat mahu ulo cilik (neleser-neleser), Nabi Musa terus mungkur melayu lan ora bali (nuli katimbalan), “Hei Musa! Siro madepo, siro ojo wedi! Temenan siro iku golongan wongwong kang podo aman. Siro lebokno Musa tangan iro (epek-epek iro kang tengen) ono ing gulungan kelambi iro (nuli wetokno) mengkoro metu dadi putih (mencorong jemlorot ambelerengi moto), ora putih olo. Lan siro kumpulno sewiwi iro marang siro (ategese tangan iro kang mencorong iku lebokno maneh ono ing gulone kelambi iro) kerono wedi (terus-menerus putih mengkurak bali koyo asli). Iyo loro iku mau tondo bukti (kahutus iro) sangking Pengeran iro marang Firaun lan bala-balane. Sejatine Firaun sak balane iku golongan kang podo fasik.” Nabi Musa matur, “Aduh Pengeran! Saestu kawulo punika sampun mejahi tiang sangking golonganipun Firaun, dados kawulo ajrih menawining tiang-tiang sami mejahi kulo.”[12]

Lalu dari arah jurang sebelah kanan, di suatu tempat yang diberkati, yaitu dari ayah pepohonan yang tumbuh di jurang tadi, terdengar suara memanggil, “Wahai Musa! Sesungguhnya Aku, ya Aku, adalah Allah, Tuhan semesta alam.” Suara tadi juga memanggil, “Lemparkanlah tongkatmu!” Begitu Nabi Musa melihat tongkatnya, tongkat itu tampak bergerak-gerak seakan seekor ular kecil (yang bergerak gesit). Larilah Nabi Musa ke arah belakang tanpa menoleh. (Kemudian Nabi Musa diseru), “Wahai Musa, datanglah kepada-Ku dan jangan takut! Sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang aman. Masukkanlah tanganmu (telapak tangan kananmu) ke leher bajumu (lalu keluarkanlah), niscaya ia keluar dalam keadaan berubah putih (putih bersinar terang menyilaukan mata), namun bukanlah putih yang buruk. Dan tempelkanlah lenganmu ke tubuhmu (yakni tanganmu yang putih bersinar tadi masukkanlah kembali ke lengan bajumu) bila khawatir (terus-menerus putih bersinar kembali ke asalnya). Keduanya adalah tanda bukti (pengutusanmu) dari Tuhanmu kepada Firaun dan pembesar-pembesarnya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik.” Musa berkata, “Wahai Tuhan! Sesungguhnya aku telah membunuh seorang pria dari golongan mereka. Aku takut bila mereka akan membunuhku.”

Di sini Bisri Musthofa pun menggunakan dua tingkatan bahasa, ngoko dan krama inggil. Ngoko digunakannya untuk menafsirkan kalimat yang Allah tujukan kepada Nabi Musa, misalnya kalimat“Hei Musa! Sejatine ingsun, iyo ingsun iki, iku Allah kang mengerani alam kabeh.” Penggunaan tingkatan ngoko menunjukkan betapa Allah Mahakuasa atas hamba-hamba-Nya; Dia patut mengunggulkan diri atas mereka. Sementara itu, tingkatan krama inggil dipilih oleh Bisri Musthofa untuk menafsirkan ucapan Nabi Musa kepada Allah. Hal ini terlihat pada kalimat “Aduh Pengeran! Saestu kawulo punika sampun mejahi tiang sangking golonganipun Firaun, dados kawulo ajrih menawining tiang-tiang sami mejahi kulo.” Meski Nabi Musa adalah seorang nabi yang tentunya mulia di mata Allah, namun ketika ia berdialog dengan Pencipta dan Pengutusnya, tentulah ia mesti menunjukkan sikap sopan santun dan merendahkan diri.

Ketiga, dalam penafsirannya, KH. Bisri Musthafa memang menggunakan tingkatan dalam bahasa Jawa yaitu Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil, namun kadang-kadang ada sedikit percampuran dengan istilah Indonesia yang digunakan, seperti kata “nenek moyang”, “pembesar”, “terpukul”, atau kata “berangkat” dan “mempelajari”. Padahal kalimat tersebut tidaklah sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Jawa. Secara teknis, pilihan menggunakan bahasa ngoko mungkin demi fleksibilitas dan mudah dipahami, karena dengan bahasa tersebut, pembicara dan audiennya menghilangkan jarak psikologis dalam berkomunikasi. Keduanya berdiri satu level, sehingga tidak perlu mengusung sekian basa-basi seperti kita menggunakan krama madya dan krama inggil.

[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 64.

[2]Ngoko yaitu bahasa Jawa yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang mempunyai tingkat kedudukan yang sederajat. Krama Madiya yaitu bahasa campuran antara bahasa krama dan bahasa ngoko yang dipakai dalam pembicaraan antara seorang dengan orang lain yang lebih rendah derajatnya, tapi umumnya digunakan untuk bericara dengan orang yang lebih tua. Krama inggil yaitu bahasa yang digunakan dalam pembicaraan antara seorang dengan orang yang dihormatinya. Tingkatan Ngoko, Krama Madiya, dan Krama Inggil digunakan oleh K. H. Bisri Musthofa tatkala menafsirkan dialog antara dua orang atau lebih, yang masing-masing pihak memiliki strata sosial berbeda, di mana yang satu lebih tinggi daripada yang lain Adapun tingkatan Madya (biasa) digunakannya saat menafsirkan ayat yang tidak termasuk dalam kategori di atas, baik berupa dialog maupun bukan. Tujuannya adalah agar kandungan ayat tersebut lebih dipahami oleh kalangan Jawa.

[3] Bisri Mustofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 805.

[4] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 2258–2259.

[5] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 912–913.

[6] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 325.

[7] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 927.

[8] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 927.

[9] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 935.

[10] Baca juga: Surah al-Mā’idah/5: 116.

[11] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 442–443.

[12] Bisri Musthofa, Tafsir al-Ibrīz, h. 1313–1314.

--

--