Inilah Poin Pendekatan Penafsiran Maqashidi Ala Abdul Mustaqim
Pendekatan maqashidi dapat diartikan sebagai model pendekatan penafsiran al-Qur’an yang memberikan penekanan terhadap dimensi maqashid al-Qur’an dan maqashid al-Syariah. Pendekatan maqashidi, tidak hanya terbatas pada penjelasan makna literal teks yang eksplisit, melainkan mencoba menelisik maksud dibalik teks yang implisit, yang tak terucapkan, apa sebenarnya maqashid atau tujuan, signifikansi, ideal moral dalam setiap perintah atau larangan Allah dalam al-Qur’an.
Pendekatan maqashidi di sisi lain mempertimbangkan bagaimana dari gerak teks. Jika objek penafsirannya ayat-ayat kisah, maka pendekatan maqashidi akan menelisik lebih dalam apa sebenarnya maqâshid terdalam dari narasi kisah alQur’an tersebut. Misalnya, kisah Nabi Nuh a.s (Q.S. Hûd: 40 dan al-Mu`minûn: 27) yang disuruh mengangkut semua jenis hewan sepasang-sepasang ke dalam kapalnya, dapat dipahami sebagai pesan ekologi untuk merawat populasi hewan.
Demikian pula, dengan ayat-ayat perumpamaan (Q.S al-Baqarah [2]: 187), terkait dengan relasi suami-istri yang digambarkan sebagai perumpamaan pakaian. Hal itu mengandung maksud untuk meneguhkan dimensi kesetaraan dan ketersalingan untuk sama-sama menutupi kekurangan suami-istri.
Demikian halnya terkait dengan citra metaforis hubungan seksual suami-istri (Q.S. al-Nisâ’: 43) itu mengandung pesan keniscayaan untuk memperlakukan kaum perempuan dengan kelembutan dan menjauhkan diri dari segala bentuk kekerasan simbolis.
Pendekatan maqashidi merupakan sebuah konsep pendekatan tafsir yang ingin memadukan elemen sebagai berikut, yaitu
- Lurus dari segi metode yang sejalan dengan prinsip-prinsip maqashid syari’ah,
- Mencerminkan sikap moderasi dalam memperhatikan bunyi teks dan konteks,
- Moderat dalam mendudukkan dalil naql dan dalil `aql, agar dapat menangkap maqashid (maksud dan cita-cita ideal) al-Qur’an, baik yang bersifat partikular maupun yang universal, sehingga memperoleh jalan kemudahan dalam merealisasikan kemaslahatan dan menolak mafsadah (kerusakan).
Pendekatan maqashidi sebagai metodologi meniscayakan perlunya rekonstruksi dan pengembangan penafsiran al-Qur’an yang berbasi teori maqashid. Sebuah proses dan prosedur penafsiran yang menggunakan teori-teori maqashid syari’ah sebagai pisau bedah analisis untuk memahami al-Qur’an. Berarti pendekatan maqashidi akan menekankan pentingnya penjelasan maqashid al-syariah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan bagi manusia.
Dalam mengaplikasikan pendekatam Maqashidi tidak harus meninggalkan langkah-langkah metodis serta pendekatan yang sudah dirancang oleh para ahli tafsir. Misalnya, pertimbangan konteks asbâb al-nuzûl, konteks munasabah, analisis amm dan khash, mutlaq-muqayyad, serta analisis semantis, dengan tetap menjaga fitur-fitur lingustik yang ada dalam al-Qur’an.
Abdul Mustaqim dalam buku Argumentasi Keniscayaan menuliskan beberapa prinsip prinsip metofologi yang harus diperhatikan dalam pendekatan maqashidi, antara lain:
- Memahami Maqâshid al-Qur’an, meliputi nilai-nilai kemaslahatan pribadi (ishlâh al-fard), kemasalahatan sosial-lokal (ishlâh al-mujtamâ’) dan kemaslahatan universal-global (ishlâh al- `âlam).
- Memahami prinsip Maqashid al-Syariah, yaitu merealisasikan kemaslahatan (jalb al-mashâlih wa dar` al mafâsid), yang dibingkai dalam ushûl al-khamsah (hifdz al-din, al-nafs, al-`aql, al-nasl, al-mal) ditambah dengan dua point lagi, yaitu hifdz al-daulah (bela negara-tanah air) dan hifzh al-bi’ah (merawat lingkungan).
- Mengembangkan dimensi maqashid min haits al-`adam (protective) dan min haits al-wujûd (produktive)
- Mengumpulkan ayat-ayat yang setema untuk menemukan maqâshid (kulliyah dan juziyyah).
- Mempertimbangkan konteks ayat, baik internal maupun eksternal, makro maupun mikro, konteks masa lalu (qadîm) dan masa sekarang (jadîd)
- Memehami teori teori dasar Ulumul Qur’an dan Qawa`id tafsir dengan segala kompleksitas teorinya.
- Mempertimbangkan aspek dan fitur linguistik bahasa Arab melalui pendekatan nahwu-sharaf, balaghah, semantik,semiotik, pragmatik, dan bahkan ‘hermeneutik
- Membedakan antara dimensi wasîlah (sarana) dan ghâyah (tujuan), ushûl ( pokok) dan furû` (cabang), al-tsawâbit dan al-mutaghayyirât,
- Menginterkoneksikan hasil penafsiran dengan teori-teori ilmu sosial-humaniora dan sains, sehingga kesimpulan produk tafsirnya lebih komprehensif dan mencerminkan paradigma intregatif-interkonektif (baca: manhaj altakâmul wal izdiwâj).
- Selalu terbuka terhadap kritik dan tidak mengklaim bahwa temuan penafsirannya sebagai sebagai satu-satunya kebenaran.