Hierarki Berbahasa Dalam Masyarakat Jawa

Haris Fauzi
3 min readSep 17, 2021
Ilustrasi

Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan suatu keharusan.

Kalau berbicara mengenahi hierarki (tingkatan) berbahasa jawa dari yang kasar (Ngoko) ke yang sangat halus (Krama Inggil) sebenarnya tak lepas dari Etika Jawa. Etika Jawa memiliki dua kaidah yang salah satunya adalah prinsip hormat, kaidah ini menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

Perilaku hormat berfungsi menjaga kesalarasan hubungan antara anggota masyarakat. Sikap hormat berkaitan dengan budi pekerti dan unggah- ungguh serta tata krama masyarakat jawa. Orang Jawa, mendidik anak mereka sejak dini agar fasih mempergunakan sikap hormat yang tepat.

Sikap hormat terhadap hubungan keluarga yaitu mohon maaf dan restu pada orang tua atau yang lebih tua. Orang Jawa memohon restu sebagai tanda penghormatan. Anak-anak harus menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua mereka. Penghormatan pada orang tua dinyatakan dengan kepatuhan dan penggunaan bahasa yang sopan. Rasa hormat dan patuh anak dinyatakan dengan sikap tunduk. Sikap tunduk biasanya ditunjukan dengan cara menganggukan kepala dan menundukan pandangan mata.

Sikap hormat pada orang tua terdorong oleh ungkapan wong tuwa ala-ala malati, maksudnya kendati jelek, orang tua itu bertuah. Tindakan dan sikap tidak menghormati orang tua akan menimbulkan akibat buruk yang disebut kuwalat.

Sikap hormat juga ditampilkan dalam bentuk unggah- ungguh. Unggah-ungguh merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan dan segregasi sosial. Segregasi sosial terwujud dalam bentuk perbedaan derajat dan kedudukan.

Masyarakat Jawa terbagi dalam golongan masyarakat bawah atau disebut wong cilik dan masyarakat dengan label priyayi. Unggah-ungguh mencakup beberapa perbuatan baik dalam berbicara maupun bertindak, seperti: Ragam bahasa dan Penampilan diri. Pada masyarakat Jawa tingkatan bahasa terdiri dari: Ngoko, Krama madya, dan Krama Inggil, kesemua tingkatan dalam bahasa Jawa tersebut memiliki unggah ungguh tersendiri yang satu sama lainnya memiliki tingkatan yang berbeda dalam etika Jawa.

Etika Jawa secara garis besar disampaikan melalui dua cara. Pertama melalui pituduh (wejangan, anjuran) yang isinya memberikan nasihat berupa anjuran. Kedua melalui pepali (wewaler) artinya larangan agar orang Jawa menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasehat dan larangan merupakan inti budi pekerti atau etika.

Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa disampaikan dari pihak tertentu kepada pihak lain yang memiliki posisi tidak sama (bertingkat). Etika Jawa dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keselarasan hidup manusia.

Sedangkan etika Jawa yang eksis masih sangat relevan dengan kehidupan sekarang, terutama di lingkungan sekitar kita, adapun adanya perubahan etika itu disebabkan karena perubahan zaman yang menuntut perubahan atau penyesuaian pada penerapan etika jawa.

Kita tentunya tidak bisa melaksanakan secara sempurna karena juga harus disesuaikan dengan kehidupan sekarang. Kita wajib mengambil sisi positifnya saja. Agar saat generasi yang akan datang etika jawa tidak hanya menjadi sebuah sejarah, namun menjadi sebuah paradigma baru untuk membangun kebudayaan agar dari generasi ke generasi mengalami perbaikan, bukan penurunan moral yang terjadi saat ini dan yang selalu kita takutkan.

Akhirnya mari kita semua wong jowo agar mempertahankan etika Jawa.

--

--