Etika Bertukar Pendapat Bukan Pendapatan

Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Menurut K. Bertens kata yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, akhlak, watak, dan perasaan. Dalam bentuk jamak (ta etha) bermakna adat kebiasaan. Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Dengan singkat De Vos menyatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral).
Menurut Langeveld, etika itu ialah teori tentang perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik dan buruknya. Selanjutnya Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sementara itu Austin Fogothey, sebagai dikutip Abuddin Nata mengatakan bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Berikutnya dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya. Selanjutnya Frankena, sebagai juga dikutip Abuddin Nata mengatakan bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Dari beberapa definisi etika tersebut di atas dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut: Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia.
Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. la merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilainilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi (شورى) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya.[8] Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran.
Saat ini musyawarah selalu dikait-kaitkan dengan dunia politik, demokrasi.Bahkan hal tersebut tidak dapat dipisahkan, pada prinsipnya musyawarah adalah bagian dari demokrasi, dalam demokrasi pancasila penentuan hasil dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dan jika terjadi kebuntuan yang berkepanjangan barulah dilakukan votting, jadi demokrasi tidaklah sama dengan votting.Cara votting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis, menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah yang berbelit-belit itulah sebabnya votting cenderung identik dengan demokrasi padahal votting sebenarnya adalah salah satu cara dalam mekanisme penentuan pendapat dalam sistem demokrasi.
Batasan Musyawarah
Musyawarah penting untuk dilakukan agar menghasilakn keputusan yang baik dan sesuai dengan cita-cita atau tujuan masyarakat umum. Namun demikian tidak semua hal dapat dimusyawarahkan. Ada larangan-larangan mengenai objek dalam musyawarah. Anshari Tayyib mencatat dua hal yang tidak boleh dilakukan musyawarah sebagai berikut;
Musyawarah pada masalah yang sudah jelas dinyatakan oleh Al Qur’an maupun As sunnah. Ruang lingkup musyawarah hanyalah mencari kejelasan atau penafsiran atas perintah itu, sebaliknya bukan mempersoalkan. Hal tersebut dikaitkan dengan hak dan wewenang menafsirkan serta mengawasi pelaksanaan perintah Allah.
Keputusan musyawarah tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang telah ditetapkan di dalam Al Qur’an. Jadi, meskipun merupakan keputusan musyawarah kalau bertentangan dengan Al Qur’an atau sunnah maka dilarang dalam islam untuk menerapkan keputusan tersebut. Karena, al quran sebagai sumber utama hokum yang paling benar. Tidak ada kebenaran yang melebihi kebenaran Al Quran.
Sesuai dengan sistem perundang-undangan islam, musyawarah justru diharapkan tak akan menjadikan masalah yang dibicarakan menjadi kabur. Tapi harus lebih memantapkan prinsip peraturan perundang-undangan dan menyesuaikannya dengan hokum islam, disesuaikan dengan kondisi tempat dan masa. Dalam hal ini, musyawarah selalu membutuhkan suasana yang lemah lembut, nalar yang jernih sehingga mencapat keputusan yang bermanfaat.
Kewajiban Musyawarah
Musyawarah adalah kewajiban yang diwajibkan atas penguasa dan rakyat. Penguasa harus bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan, administrasi, politik, dan pembuatan undang-undang, juga dalam setiap hal yang menyangkut kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum.
Rakyat harus memberikan pendapatnya terhadap persoalan-persolan, baik dalam hal ini pemerintah meminta pendapat mereka ataupun tidak karena sudah ada hukum yang menjelaskan bahwasanya musyawarah itu wajib dilaksanakan. Adapun ruang lingkup pembahasannya adalah menentukan pendapat terbanyak peserta musyawarah dan apa yang dilakukan bila pendapat itu harus dilakukan oleh penguasa atau dia bebas memilih antara pendapat itu atau pendapat lainnya.
Kedudukan musyawarah dalam sistem penetapan hukum atau pengambilan keputusan dalam pemerintahan berada pada titik puncak, tempat yang paling tinggi dalam sistem pemerintahan, terutama pada negara yang menjunjung tinggi sistem Demokrasi. Sebagai contoh negara Indonesia yang mengusung sistem ini, seperti halnya tercantum dalam way of life mereka, pancasila sila ke-empat “ kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Musyawarah pada dasarnya bukan saja sebuah pengakuan akan adanya pluralisme, melainkan juga kesadaran dan praktek memperlakukan orang per orang sederajat. Dalam islam sendiri “musyawarah” merupakan sebagai suatu kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash AlQuran dan hadis-hadis nabawi. Oleh karena itu, musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya.[1]
Suatu negara tidak dapat berdiri sendiri. Ada unsur-unsur yang harus terpenuhi. Selain unsur wilayah sebagai daerah teritorialnya (kekuasaan), daerah bertempat dan bermukim serta pengakuan dari negara lain, ada unsur yang paling penting, yakni rakyat. Rakyat merupakan unsur terpenting dalam pembentukan suatu negara.
Mengapa demikian, karena rakyat adalah satu-satunya sumber perundang-undangan dan mengikuti keinginan mereka adalah suatu yang wajib. Adapun menyimpang pendapat mereka adalah suatu tindakan pembangkangan. Apabila rakyat tidak ada, maka negara pun tidak ada.
Dalam islam prinsip perundang-undangan islam, musyawarah dinilai sebagai cara yang amat penting dalam menentukan sebuah keputusan. Penentuan sebuah keputusan haruslah didasarkan atas kesepakatan musyawarah. Keputusan yang di didasarkan dengan musyawarah akan cenderung lemah, kurang menguntungkan bagi sebagian pihak dan terkadang hanya menguntungkan salah satu pihak. Atau paling tidak, dengan adanya musyawarah, segala permasalahan akan dengan mudah mendapatkan solusi.Oleh karena itu islam sangat menghargai dan memuji sistem musyawarah.
Dalam situasi yang bagaimana pun, sistem musyawarah dalam politik islam merupakan dasar yang paling prinsipil. Muhammad Abduh menguatkan kedudukan ayat tersebut sebagai adanya perintah bermusyawarah. Ayat tersbut nerupakan perintah yang wajib dipatuhi agar ada keutuhan dan kekuatan di kalangan umat. Rosulullah pun berkali-kali mencontohkan perilaku tersebut kepada para sahabat. Namun, perlu di ketahui, musyawarah yang dicontohkan Rosulullah hanya terbatas pada persoalan kemanusiaan, bukan perintah Allah. Perintah Allah yang sudah jelas ada sandarannya dalam nash tidak lagi membutuhkan musyawarah. #MHF