Cara Mencuci Pakaian Menurut Islam
Mencuci pakaian merupakan rutinitas harian yang akrab dengan dunia kita. Sekilas, mencuci pakaian tampak sepele, namun mencuci pakaian sebenarnya adalah sesuatu yang tidak boleh diremehkan.
Saat mencuci pakaian, selain perlu bersih, juga harus suci dari najis. Terlebih lagi, pakaian yang dibuat untuk beribadah seperti shalat, harus benar-benar suci dari najis.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Asma binti Abi Bakar, seorang wanita bertanya kepada Rasulullah ﷺ
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا إِذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنَ الحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ؟
Artinya: “Ya Rasulallah, mohon penjelasannya apabila ada seseorang dari kami yang bajunya terkena darah haid. Apa yang harus dilakukannya?,”
Kemudian Rasulullah menjawab:
إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ، ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ، ثُمَّ لِتُصَلِّيَ فِيهِ
“Apabila pakaian salah satu dari kalian terkena darah haid, hendaknya ia menggosoknya kemudian memercikkannya dengan menggunakan air, lalu ia boleh menggunakannya untuk shalat,”
Perlu diketahui sebelumnya, ketentuan yang masyhur dalam mazhab Syafi’i tentang batasan air ada yang kurang dari dua qullah, ada yang mencapai dua qullah atau lebih. Air dua qullah setara dengan 216 lt atau kubus dengan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 60 cm.
Dalam ketentuannya, air yang kurang dari dua qullah, apabila kemasukan najis, walaupun tidak ada perubahan (taghayyur) salah satu dari ketiga sifat air (fisik, rasa, dan bau), maka air kurang dari dua qullah tersebut, dihukumi terkena najis (mutanajjis). Apabila airnya sudah mencapai dua qullah atau lebih, apabila kemasukan najis, selama ketiga sifat air tidak berubah, air tidak dihukumi mutanajjis. Dalam madzhab Maliki, misalnya — air tidak dihukumi najis kecuali dengan berubahnya warna air, baik volume air sampai dua qullah ataupun kurang dari dua qullah.
Pakaian yang dicuci dibagi menjadi dua. Pertama, pakaian kotor saja, namun yang mengotori adalah benda suci seperti hanya terkena keringat, debu, dan sebagainya. Kedua, pakaian kotor namun yang mengotori adalah benda najis atau terkena najis (mutanajjis). Yang perlu menjadi perhatian khusus pada pembahasan kita saat ini adalah tata cara menyucikan pakaian yang terkena najis.

Cara menyucikan pakaian yang terkena najis (mutanajjis) dengan air yang kurang dari dua qullah (216 lt) adalah dengan cara menghilangkan wujud najis yang ada dalam benda tersebut terlebih dahulu, lalu alirkan air (warid) pada pakaian yang terkena najis tersebut setelah dihilangkan najisnya.
Mengalirkan air (warid) pada pakaian yang terkena najis merupakan syarat agar suatu benda dapat menjadi suci, sebab jika air tidak dialirkan, namun pakaian yang terkena najis ditaruh pada air yang kurang dari dua qullah (maurud), maka air yang dimasukkan tersebut justru akan ikut menjadi najis. Pendapat demikian merupakan pandangan mayoritas ulama bermadzhab Syafiiyyah.
Air yang mengalir, mendatangi benda yang terkena najis, mempunyai kekuatan menyucikan najis. Apabila dibalik, airnya terlebih dahulu, baru air yang didatangkan, air tidak mempunyai kekuatan menyucikan pakaian yang terkena najis.
Meskipun demikian, Imam Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutnya, air yang datang belakangan (warid) atau air dahulu, baru kemudian benda yang dicuci yang dimasukkan (maurud) tidak ada perbedaan sama sekali. Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Suraij.
Ketika ketentuan-ketentuan di atas diterapkan dalam menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci, maka cara yang paling efektif dan disepakati oleh para ulama adalah dengan cara menghilangkan wujud najis (‘ain an-najasah) terlebih dahulu sebelum memasukkan pakaian yang terkena najis ke dalam mesin cuci.
Hilangkan najis yang menempel di pakaian dengan cara dikucek supaya wujud najis yang menempel hilang, atau langsung dengan cara menyiram pakaian (baik itu secara manual, atau langsung dengan cara dimasukkan pada mesin cuci) ketika memang diyakini najis yang melekat akan hilang dengan siraman air tersebut.
Setelah fisik najis sudah hilang, maka status pakaian yang semula najisnya tampak bendanya (ainiyah) berubah menjadi najis hukmiyyah (najis secara hukum, meski wujud tidak kasat mata). Najis hukmiyyah bisa disucikan hanya cukup dengan disiram menggunakan air.
Apabila sejak awal pakaian yang akan dicuci tidak ada sifat najis yang tampak, maka tidak perlu memilah pakaian terlebih dahulu. Cukup dengan disiram secara merata ke seluruh pakaian, maka sudah bisa menyucikan.
Setelah dipastikan tidak ada najis ainiyah yang menempel di pakaian, semua pakaian dimasukkan ke dalam mesin cuci. Dalam hal ini, mesin cuci terdapat dua jenis.
Pertama, mesin cuci otomatis, yaitu mesin cuci yang mengalirkan air dari atas dan air tersebut langsung dialirkan keluar, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, demikian secara terus-menerus sesuai kehendak pemakai mesin cuci. Para ulama sepakat bahwa pakaian yang dicuci dengan mesin cuci jenis ini dapat dihukumi suci.
Sedangkan jenis kedua, yaitu mesin cuci biasa (‘adi). Mesin cuci jenis ini adalah yang banyak digunakan masyarakat, yaitu mesin cuci yang mengalirkan air ke dalam tempat penampungan pakaian, air tidak langsung dikeluarkan, tapi dibiarkan ke dalam tempat penampungan pakaian.
Apabila antara pakaian yang suci dan najis tanpa disucikan terlebih dahulu, lalu semua pakaian dimasukkan ke mesin cuci model ini, maka akan bercampur pakaian suci dan najis.
Setelah pakaian diproses bersama air dan sabun, air dikeluarkan dan diganti dengan air baru yang juga mengalami proses yang sama dengan cara kerja air yang awal. Jika prosesnya seperti demikian, pakaian yang terkena najis tidak dapat dihukumi suci menurut pandangan mayoritas ulama, bahkan pakaian yang suci ikut menjadi najis, jika memang masih terdapat wujud najis pada salah satu pakaian yang ada dalam mesin cuci tersebut. Namun apabila wujud najis sudah hilang secara total, maka bisa dihukumi suci.
Sedangkan apabila mengikuti pandangan Al-Ghazali, Ibnu Suraij, serta pendapat mazhab Maliki di atas, air yang dicuci dengan mesin cuci jenis kedua apalagi jenis pertama, semuanya dapat dihukumi suci. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Syarah al-Yaqut an-Nafis:
والغسالات نوعان: نوع يسمونه أوتوماتيكي يرد إليها الماء ثم ينصرف فيرد ماء جديد ثم يتكرر إيراد الماء عدة مرات فهذا لاخلاف فيه في طهارة الملابس. والنوع الثاني من الغسالات عادي وتلك يوضع الماء فيها وهو دون القلتين وتغسل به الملابس الطاهرة والنجسة ثم يصرفونه فيبقى شيء منه في الغسالة والثياب مبللة منه فيصبّون عليه ماء آخر فوق الباقي المتنجس ثم يكتفون بالغسلتين
Artinya: “Mesin cuci terbagi menjadi dua. Pertama, mesin cuci otomatis, yaitu air dialirkan pada mesin cuci lalu dialirkan keluar dari mesin cuci, setelah itu dialirkan kembali air baru dan dialirkan keluar, begitu juga seterusnya. Maka dalam mesin cuci jenis demikian tidak ada perbedaan pendapat antar ulama dalam sucinya pakaian yang di cuci pada mesin cuci jenis ini. Kedua, mesin cuci biasa, yaitu air yang kurang dari dua qullah ditaruh di dalam mesin cuci, yang nantinya air tersebut digunakan untuk membasuh pakaian yang suci dan najis, lalu air tersebut dialirkan keluar, meski masih terdapat sebagian air yang menetap pada mesin cuci, sedangkan pakaian yang terdapat dalam cucian berada dalam keadaan basah, kemudian dialirkan air lain di atas sisa air yang terkena najis (di pakaian) tadi dan basuhan air dalam mesin cuci ini dicukupkan dengan dua kali basuhan oleh sebagian ulama,”
فهؤلاء يحملهم قول الذين لايشترطون ورود الماء مع القول في مذهب مالك. وهناك قول آخر نقله ابن حجر في التحفة يحملهم وإن قرر على أن الماء القليل ينجس بمجرد وقوع النجاسة فيه لكن نقل القول الآخر وهو أنه لاينجس إلا بالتغير وهو مذهب مالك وعندنا أنه ينجس بملاقته النجاسة والقول الذي يقول لاينجس الماء إلا بالتغير
Artinya: “Para ulama ini mengarahkan kasus demikian pada pendapat para ulama yang tidak mensyaratkan mengalirnya air pada pakaian serta berpijak pada pendapat mazhab Imam Malik. Sebab dalam permasalahan membasuh benda yang terkena najis ini terdapat pendapat lain yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, meskipun Imam Ibnu Hajar menetapkan bahwa air yang sedikit (kurang dari dua qullah) akan menjadi najis dengan hanya jatuhnya najis pada air tersebut, tetapi ia menukil pendapat lain yaitu air tidak menjadi najis kecuali dengan berubahnya (warna) air.” (Muhammad bin Ahmad Asy-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, Hal. 98–99)
Ketentuan yang dijelaskan tentang menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci sebagaimana penjelasan di atas adalah ketika pakaian yang dimasukkan dalam mesin cuci belum dicampuri dengan detergen. Apabila pakaian sudah dicampur dengan detergen sebelum dialiri air ke dalam mesin cuci, maka air yang bercampur dengan detergen ini tidak dapat menyucikan pakaian yang terkena najis secara mutlak, sebab air ini tergolong air yang mukhalith (bercampur dengan sesuatu lain) yang tidak dapat menyucikan benda yang terkena najis, sebab hanya air murni (al-ma’ul muthlaq) yang dapat menyucikan sesuatu yang terkena najis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyucikan pakaian yang terkena najis dalam mesin cuci biasa (‘adi) adalah hal yang dapat dilakukan menurut para ulama yang berpandangan bahwa air yang kurang dari dua qullah dapat menyucikan benda yang najis tanpa perlu dialiri air dari atas (warid).
Namun dengan batasan selama pakaian dalam mesin cuci tidak dicampur dengan detergen terlebih dahulu. Setelah pakaian dialiri air, tempat penampungan pakaian dalam mesin cuci diganti air yang baru dan baru kemudian diberi detergen.
Meski cara yang umum dilakukan masyarakat dapat dibenarkan dengan cara di atas, namun alangkah baiknya dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam mengamalkan syariat, seseorang hendaknya membasuh secara manual terlebih dahulu pada pakaian yang terkena najis dengan air murni, lalu setelah itu pakaian yang telah dibasuh dicuci dalam mesin cuci, sebab cara demikianlah yang dibenarkan oleh mayoritas ulama.