Habib Umar Muthohar — Kisah KH Abdul Hamid Pasuruan dengan Seorang Pemuda

Haris Fauzi
3 min readJan 10, 2021

--

Kiai Abdul Hamid Pasuruan || Sumber Gambar: Alif Id

Diceritakan bahwa Mbah Hamid ini Muktabar, beliau ini Waliyullah. Tidak I’rodh (pertentangan) baik dari kalangan kiai manapun, setahu saya tidak I’rodh bahwa beliau. Kiai Hamid Pasuruan bahwa beliau Waliyullah. Kiai Hamid mempunyai kebiasaan, kalau habis sholat subuh itu wirid dulu, turun dari masjid. Baru, habis dhuha. Rumah beliau sampai Masjid, melewati kampung. Jadi ketika sampai di Masjid, wiridan. Begitu turun dari Masjid. Orang sudah banyak menunggu untuk musyfahah (Bersalaman).

Habib Umar Muthohar — Kisah KH Abdul Hamid Pasuruan dengan Seorang Pemuda

Beliau itu wali. Wali itu juga manusia, memiliki rasa capek dan itu basyariyyah (memiliki sifat normal manusia). Beliau mungkin capek hari itu. Tidak usah bersalaman, saya doakan saja.

Diantara orang yang berkerumun itu, mungkin ada anak muda yang belum pernah tahu kehidupan kiai. Kemudian pemuda tersebut membatin dalam hati, “Jadi Kiai enak ya, baru turun dari Masjid, yang menunggu salaman begitu banyakanya. Lha ini, kalau satu orang memberi satu amplop, jadi sudah berapa yang didapat”. Otaknya sudah berorientasi materi.

Maaf ya, kalau dianalisa. Orang melihat sesuatu itu menurut dengan kacamatanya. Kalau dia memakai kaca mata putii, tentu melihat sesuatu. Seindah dengan warna aslinya. Akan tetapi, kalau dia memakai kacamatanya berwarna kuning, tentu semua terlihat kuning. Kalau ini, kacamatanya adalah uang. Jadi ketika melihat kiai, “Wah, enak ya, turun dari Masjid sudah ditunggu orang untuk bersalaman. Bayanganya, kalau satu orang memberi satu amplop, tentu dia sudah mendapatkan banyak.

Nanti belum ketika di rumah. Tamu datang memberikan amplop yang berisi uang. Serasa hujan uang. Tamu yang model seperti ini, Mbah Hamid terkenal kasyaf, artinya bisa waskito, ia mengetahui sesuatu oleh Allah, padahal orang lain tidak mengetahuinya.

Anak itu justru dipanggil, anak muda yang membatin tersebut. Orang lain yang bersalaman justru tidak diladeni. Justru anak muda tersebut dipanggil, “Kemarilah, kamu ikut dengan saya”

Ini saya tambahi. Anak tersebut malah jumawa. Orang lain meminta bersalaman, tidak diberikan. Saya malah diajak oleh beliau. Mbah Hamid ke rumah dan masuk kamar. Pemuda tersebut disuruh menunggu. Kemudian diajak bekeliling kota Pasuruan dengan menaiki mobil. Jalan mobil dahulu dengan sekarang tentu beda. Sekarang banyak jalan yang bagus. Tentu hal tersebut dengan jaman dahulu, ada banyak lubang di jalan.

Orang tersebut diperintahkan untuk membawa segelas air penuh. Bawa gelas ini dan jagalah. Jangan sampai tumpah. Secara akal hal ini tentusulit. Akan tetapi karena hal ini adalah perintah Kiai Hamid. Pemuda tersebut mengiyakan. Setiap ada jalan berlubang, pemuda tersebut menjaga agar airnya tidak tumpah. Samapai selesai berkeliling dan pulang.

Pemuda itu disuruh duduk bersama kiai Hamid, “Kamu tadi, saya suruh jaga air yang penuh di gelas, jangan sampai tumpah. Itu kamu laksanakan.” “Iya, saya laksanakan.” “ Susah apa tidak?” “ Ya, tentu susah.” Itu sudah saya jaga begini saj, masih ada yang tumpah.

Kiai itu menjaga keimanan masyarakat, dan hal tersebut lebih susah daripada menjaga air agar tidak tumpah. Hal ini tentu menjawab tuduhan pemuda tersebut. Pikiran kamu jangan hanya berhenti pada hal materi. Para Kiai, ulama, sholihin, auliya’ dan habaib ini memiliki tugas, menjaga keimanan masyarakat. Hal ini tentu lebih susah daripada hanya menjaga air ini agar tidak tumpah.

Bisa melalui pengajian, majelis dzikir, majelis maulid, majelis manakib, majelis nasriyah. Itu semua dalam rangka menjaga keimanan. Hal ini tentu tidak mudah. Pemuda baru menyadari. Ini adalah keuntungan dinasehati oleh mbah Hamid. Kalau saya, “Pikirannya tidak baik, saya ingatkan”

Kalau Mbah Hamid memakai cara halus. Dengan cara demikian, pemuda tersebut sadar. Dibalik banyaknya amplop, tentu ada tugas yang cukup berat. Tidak hanya sekedar hanya dunia “per-amplop-an”. Orang terkadang mikir dangkal ke hal terebut. Tugas beratnya tidak terpikir.

Mbah Hamid mengingatkan pemuda tersebut agar tidak memiliki pemikiran yang kotor terhadap para ulama. Sholihin. Dan tugas pokoknya, kalau polisi dan tentara adalah menjaga keamanan. Kalau kiai, habaib, dan sholihin adalah menjaga keimanan. Sama-sama penting. Keamanan itu penting. Keimanan juga penting.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Haris Fauzi
Haris Fauzi

No responses yet

Write a response