Ada Apa dengan Tafsir Misbah Quraish Shihab

Haris Fauzi
14 min readSep 17, 2021

--

“Al-Qur’an diresapi dan difahami maknanya menggunakan akal dan hati agar sampai pada pesan-pesan al-Qur’an”. ~ Quraish Shihab

Quraish Shihab || Sumber Gambar >> Twitter Fihri Kamal.

Salah satu yang menarik perhatian dari penafsiran kontemporer adalah tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah merupakan karya tafsir Nusantara yang sampai saat ini masih eksis keberadaannya, bahkan banyak diantara akademisi yang tertarik untuk meneliti kitab tafsir tersebut untuk dijadikan bahan penelitian ilmiah.

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa dirinya sebagai petunjuk umat. Untuk itu, sebagai kaum intelektual Muslim, M. Quraish Shihab melihat fenomena bahwa masyarakat Muslim Indonesia sangat mencintai dan mengagumi al-Qur’an. Hanya saja sebagian dari mereka itu hanya kagum pada bacaan dan lantunan dengan menggunakan suara merdu. Kenyataan ini seolah-olah mengindikasikan bahwa al-Qur’an hanya sekedar untuk dibaca saja.[1] Padahal seyogjanya, al-Qur’an diresapi dan difahami maknanya menggunakan akal dan hati agar sampai pada pesan-pesan al-Qur’an.

Muhammad Quraish Shihab merupakan seorang cendekiawan Muslim yang terkenal dengan ilmu al-Qur’an dalam bidang tafsir. Ia lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944.[2] Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya (SD) di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil nyantri di Ponpes Darul Hadits al-Faqihiyyah.

Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab (1905–1986), yaitu guru besar dalam bidang Tafsir dan pernah menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin Ujung Pandang dan juga sebagai pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang.[3] Di samping berwiraswasta, sejak muda beliau juga berdakwah dan mengajar, serta beliau menyisakan waktunya untuk membaca al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir.

Seringkali ayahnya mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat inilah beliau menyampaikan nasihat-nasihat keagamaannya. Dari nasihat itulah, yang membuatkan timbulnya benih kecintaan Quraish Shihab terhadap pengajian ilmu-ilmu al-Qur’an.[4]

Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Universitas Al-Azhar. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama. Pada tahun 1969, ia meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’jaz al-tasyri’iy li al-Qur’an al-Karim.[5]

Setelah ia kembali ke Ujung Pandang, ia dipercayakan untuk menjabat menjadi wakil rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaluddin. Selain itu, ia juga diamanahkan tugas-tugas lain baik di dalam kampus seperti Kordinator Perguruan Tinggi Swasta, maupun tugas di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang Pembinaan Mental. Selama itu juga, ia melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975)” dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan”.

Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama yaitu Universitas al-Azhar. Pada tahun 1982, dia berhasil meraih gelar doktor dengan desertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’iy”, Tahqiq wa Dirasah” disertai dengan yudisum Summa Cum Laude dan penghargaan tingkat I.[6]

Setelah kembali ke Indonesia, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, ia juga diamanahkan jabatan di luar kampus, misalnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat sejak 1984; Anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989; Anggota MPR RI sejak 1982; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989; Mnteri Agama RI sejak 1998; dan Ketua Lembaga Pengembangan. Ia juga telibat dalam beberapa organisasi profesional, seperti Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tidak berhenti di situ, sebagai mufasir kontemporer terkenal, Quraish Shihab telah menghasilkan beberapa karya yang telah diterbitkan.

Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Misbah

Latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah ialah semangat untuk menghadirkan karya tafsir al-Qur’an baru kepada masyarakat secara normatif dikobarkan oleh apa yang dianggapnya sebagai suatu fenomena melemahnya kajian al-Qur’an sehingga al-Qur’an tidak lagi menjadi pedoman hidup dan sumber rujukan dalam mengambil keputusan. Menurutnya, dewasa ini masyarakat Islam lebih terpesona pada lantunan bacaan al-Qur’an, seakan-akan kitab suci al-Qur’an hanya diturunkan untuk dibaca.[7]

Tafsir al-Misbah ditulis oleh Quraish Shihab di Kairo Mesir, pada Jum’at 4 Robiul Awal 1420 H atau 18 Juni 1999 M. Kemudian, diselesaikan di Jakarta pada tanggal 8 Rajab 1423 H bertepatan dengan 5 September 2003 M, diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati di bawah pimpinan Putrinya Najwa Shihab. Tafsir ini, ada 30 Juz dan terdiri dari 15 volume.

Pengambilan nama “al-Misbah” pada kitab tafsir yang ditulis Muhammad Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberikan penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan.

Menurut analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, alasan pemilihan al-Misbah ini paling tidak mencakup dua hal yaitu: pertama, pemilihan nama ini didasarkan pada fungsinya. Al-Misbah artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi kegelapan. Menurut Hamdani, dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa Arab sehingga banyak orang yang kesulitan dalam memahaminya. Disinilah manfaat tafsir al-Misbah diharapkan yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu Allah tersebut.

Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan M. Quraish Shihab dalam dunia tulis menulis/jurnalistik di Jakarta. Sebelum beliau bermukim di Jakarta, ia sudah aktif menulis tetapi produktifitasnya sebagai penulis belum membumi. Pada tahun 1980, beliau menulis rubrik “Pelita Hati” pada harian Pelita. Pada tahun 1994, kumpulan tulisannya diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati. Dari sinilah, kata Hamdani, tentang alasan pengambilan nama al-Misbah, yaitu bila dilihat dari maknanya.

Dalam bahasa Arab, lentera, pelita, atau lampu disebut Misbah, dan kata ini lah yang kemudian dipakai oleh M. Quraish Shihab untuk dijadikan nama karyanya itu. Penerbitnya pun menggunakan nama yang serupa yaitu Lentera Hati.[8]

Ada beberapa tujuan M. Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Misbah adalah: pertama, memberikan langkah yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan jalan menjelaskan secara rinci tentang pesan-pesan yang dibawa oleh al-Qur’an, serta menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia. Karena menurut M. Quraish Shihab walaupun banyak orang berminat memahami pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an, namun ada kendala baik dari segi keterbatasan waktu, keilmuan, dan kelangkaan refrerensi sebagai bahan acuan.

Kedua, ada kekeliruan umat Islam dalam memaknai fungsi al-Qur’an. Misalnya, tradisi membaca Q.S. Yasin berkali-kali, tetapi tidak memahami apa yang mereka baca berkali-kali. Indikasi tersebut juga terlihat dengan banyaknya buku-buku tentang fadhilah-fadhilah surat-surat dalam al-Qur’an. Dari kenyatan tersebut perlu untuk memberikan bacaan baru yang menjelaskan tema-tema atau pesan-pesan Alquran pada ayat-ayat yang mereka baca.

Ketiga, kekeliruan itu tidak hanya merambah pada level masyarakat awam terhadap ilmu agama tetapi juga pada masyarakat terpelajar yang berkecimpung dalam dunia studi al-Qur’an. Apalagi jika mereka membandingkan dengan karya ilmiah, banyak diantara mereka yang tidak mengetahui bahwa sistematika penulisan al-Qur’an mempunyai aspek pendidikan yang sangat menyentuh.

Keempat, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang mengugah hati dan membulatkan tekad M. Quraish Shihab untuk menulis karya tafsir. Berbagai permasalahan yang telah saya sebutkan tadi adalah latar belakang M. Quraish Shihab dalam menulis tafsir al-Misbah dengan cara menghidangkannya dalam bentuk tema-tema pokok dalam Alquran dan hal itu menunjukkan betapa serasinya ayat-ayat dan setiap surat dengan temanya, tentunya hal ini akan sangat membantu dalam meluruskan pemahaman tentang tema-tema dalam Alquran.[9]

Metodologi Penafsiran Kitab Tafsir al-Misbah

Banyak metode dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu persatu. Akan lebih mudahnya, kita merujuk kepada metode penafsiran yang digunakan para Ulama ahli tafsir, diantaranya al-Farmawī yang membagi menjadi empat macam metode, yaitu: Metode Tahlili, Metode Ijmali[10], Metode Muqarran[11], dan Metode Maudhu’I[12] (tematik). [13]

Dari ke empat metode di atas, metode tahlili yang paling populer. Tahlili berasal dari bahasa Arab, hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti mengurai atau menganalisis. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dala al-Qur’an Mushaf Utsmani.[14]

Menurut Baqir al-Shadr, metode tahlili atau metode tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memprihatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Di mulai dengan menjelaskan arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. [15]

Selan itu, metode tahlili bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, berdasarkan urutan ayat yang ada di dalam mushaf. Mengemukakan arti kosa kata disertai penjelasan arti global ayat, menyebutkan munasabah (korelasi) pada ayat-ayat al-Qur’an antara yang satu dengan ayat lainnya, membahas asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat ) dan dalil-dalil yang berasal dari Nabi, sahabat, tabi’in. kemudian penafsir melakukan analisis (sesuai latar belakang pendidikannya) disertai penambahan pembahasan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an.

Corak Penafsiran

Selama ini corak-corak penafsiran dikenal banyak jenisnya diantaranya corak sastra bahasa[16], corak filsafat dan teologi[17], corak penafsiran ilmiah[18], corak fiqh/hukum[19], corak tasawuf[20], dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Dari beberapa jenis corak di atas, Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab lebih cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi ijtima’i). Corak tersebut muncul bermula dari ulama Mesir Muhammad Abduh (1843–1905) yang mencoba menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat.[21]

Dari segi bahasa kata “al-adaby” berasal dai benuk masdar, sedang kata kerjanyafiil madhi adalah “aduba” yang berarti sopan santun, tata krama, dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dala kehidupannya dan dala mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, bisa diistilahkan sasta budaya. Adapun kata al-ijtima’I bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis, tafsir adabi al-ijtima’I adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya atau kemasyarakatan atau tafsir sosio-kultural.[22]

Selain itu, dalam buku Quraish Shihab, corak sastra budaya kemasyarakatan, yaitu satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[23]

Boleh dikatakan adabi al-ijtima’I yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Quran dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur‟an secara teliti. Kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur‟an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik. Selanjutnya seorang mufasir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada. [24]

Tafsir corak ini (al-Misbah) merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, corak penafsiran ini terlepas dari kekurangan berusaha mengemukakan segi keindahan (balagah) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur’an, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Qur’an.[25]

Setidaknya ada tiga karakter yang dimiliki oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan. Pertama, menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa al-Qur’an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasannya lebih tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang sedang mengemuka dalam masyarakat. Ketiga, disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar.

Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab ini, memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Kaitannya dengan karakter yang pertama, tafsir ini selalu menghadirkan penjelasan akan petunjuk dengan menghubungkan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa al-Qur’an itu kitab yang kekal sepanjang zaman. Kemudian karakter yang kedua, M. Quraish Shihab selalu mengakomodasi hal-hal yang dianggap problem di masyarakat.

Kemudian dalam penyajiannya, ia menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh semua kalangan umum. Sehingga, jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan cendekiawan Muslim lainnya, karya-karya M. Quraish Shihab terkhusus kitab tafsir al-Misbah tampil sebagai karya tulis yang khas dengan menggunakan gaya bahasa penulis.

Sebagai contoh, ketika Quraish Shihab menafsirkan kata هَوْنًا dalam surat al-Furqan ayat 63:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”.

Salah satu bentuk kelemahlembutan dan kerendahan hati mereka adalah sikap mereka terhadap orang-orang jahil. Karena itu, ayat di atas berbeda dengan ayat-ayat berikut –langsung menggabung sifat yang lalu dengan sifat berikut dengan menyatakan dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka dengan sapaan yang tidak wajar atau mengundang amarah mereka berucap salam, yakni mereka membiarkan dan meninggalkan mereka atau mereka berdoa untuk keselamatan semua pihak.[26]

Quraish Shihab menjelaskan kata (هَوْنًا) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indefinite noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemahlembutan.

Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً) yamsyuna `ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi Saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).[27]

Kini, pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هَوْنًا) haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya.

Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Nabi Muhammad Saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.

Sistematika Tafsir al-Misbah

Dalam sebuah penulisan tafsir al-Qur’an, ada beberapa sistematika yang diaplikasikan oleh penafsir. Kaitanya dalam tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, lengkap 30 juz mencakup keseluruhan isi al-Qur’an, ia menulis tafsirnya menggunakan tartib mushafi. Maksudnya, dalam menafsirkan ayat al-Qur’an menggunakan urutan sesuai dengan susunan ayat dalam mushaf, yakni ayat demi ayat, surat demi surat, dimulai al-fatihah dan di akhiri surat an-nas.

Pembahasan dimulai dengan memberikan pengantar dalam ayat-ayat yang akan ditafsirkannya. Dalam uraian tersebut meliputi:

· Penjelasan nama-nama surat (jika ada) serta alasan-alasan penamaanya, juga disertai keterangan tentang ayat-ayat diambil/dipakai untuk memberi nama surat itu.

· Keterangan jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya, apakah surat itu dalam katagori surat makkiyyah atau dalam katagori surat Madaniyyah.

· Keterangan penomoran urut surat berdasarkan penurunan dan penulisan mushaf, disertai keterangan nama-nama surat yang turun sebelum atau sesudahnya, serta munasabah antar surat.

· Menyebutkan tema pokok dan tujuan surat serta menyertakan pendapat para ulama-ulama tentang tema yang dibahas.

· Menjelaskan munasabah antara ayat sebelum dan sesudahnya.

· Menjelaskan tentang asbab al-nuzul surat atau ayat, jika surat itu memiliki asbab al-nuzul.

Dari uraian sistematika Tafsir al-Misbah di atas, tidak jauh berbeda dengan sistematika kitab tafsir lainnya. Jika pun ada, hal yang perlu dicatat adalah penekanannya pada segi munasabah/ keserasian al-Qur’an, sesuai judul tafsirnya ”pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an”.

Sumber Penafsiran

Sumber penafsiran tafsir al-Misbah diantaranya adalah Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj, Nazm al-Durar karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’I, Fi Zilal al-Qur’an karya Sayyid Qutb, Tafsir Mizan karya Muhammad Husain al-Thabathaba’I, Tafsir Asma’ al-Husna karya al-Zajjaj, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Kabir karya Fakh al-Din ar-Razi, Al-Kasyaf karya az-Zamarkashi.

Selain itu, ia juga merujuk pada Nahwa Tafsir al-Maudlu’I karya Muhammad al-Ghazali, Al-Dur al-Manshur karya al-Suyuti, At-Tabrir wa at-Tanwir karya Muhammad Tharir Ibnu Asyur, Ihya’ ‘Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an karya Abu Hamid al-Ghazali, Bayan I’jaz al-Qur’an karya al-Khattabi, Mafatih al-Ghaib karya Fakh al-Din ar-Razi, Al-Burhan karya az-Zarkasyi, Asrar Tartib al-Qur’an dan al-Itqan karya as-Suyuti, al-Naba’ al-Adzim dan al-Madkhal ila al-Qur’an al-Karim karya Abdullah Darraz, Al-Mannar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla, dan lain-lain.[28]

Dari sekian banyak sumber rujukan dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab banyak mengambil pendapat Thabathaba’i. Tafsirnya merupakan tafsir pembangunan yang berbeda dengan dengan tafsir lainnya, bahasanya halus dan tidak keras.

Epilog

Muhammad Quraish Shihab merupakan seorang cendekiawan Muslim terkenal dengan ilmu al-Qur’an yang bergelut di bidang tafsir. Ia merupakan tokoh kontemporer yang melahirkan Tafsir al-Misbah dengan gaya bahasa yang mudah difahami dan dibaca.

Metode dalam Tafsir al-Misbah merupakan metode tahlili, yaitu satu cara menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an Mushaf Utsmani. Sedangkan corak yang diaplikasikan dalam tafsir al-Misbah ialah adabi ijtima’I (sastra budaya kemasyarakatan), yaitu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.

Dari sekian banyak sumber rujukan dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab banyak mengambil pendapat Thabathaba’i. Tafsirnya merupakan tafsir pembangunan yang berbeda dengan dengan tafsir lainnya, bahasanya halus dan tidak keras.

[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 4.

[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. v

[3] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan,1999), h. v

[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h.14

[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,….h. 6

[6] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 297

[7] Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Vol. 11, №1, Juni 2014, h. 118

[8] http://katakarim.blogspot.co.id/2010/03/quraish-shihab-dan-tafsir-al-misbah.html, Diakses pada pukul 12.111 wib pada hari Rabu, 26 Oktober 2018

[9] Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Atik Wartini, corak penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ……….h. 112–113

[10] Metode Ijmali yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas, tetapi mencakup dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca.(Jurnal Sosio-Religia, vol. 9, no. 3, Mei 2010)

[11] Metode Muqarran atau komparasi yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah/kasus yang berbeda, dan memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah/kasus yang sama atau diduga sama. Contoh kitabnya: Durrah al-Tanzil wa Ghurrah at-Ta’wil karya Al-Khatib al-Iskafi. (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h.118–1182).

[12] Metode maudlu’I ialah metode tematik, (lihat buku al-Farmawi, Metode, h. 50)

[13] Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1996), h.11

[14] Jurnal Sosio-Religia, Malik Ibrahim, Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qur’an, Vol. 9, №3, Mei 2010, h. 643

[15] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat…..h. 86

[16] Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya orang yang memeluk Islam serta kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasa kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an. (Lihat Jurnal Tsaqafah, Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran M. Qurasih Shihab…..h. 263)

[17] Corak Filsafat/teologi, muncul akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi sebagian pihak, serta masuknya penganut-penganut agama lain ke dalam Islam. (Lihat Jurnal Tsaqafah, Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran M. Qurasih Shihab…..h. 263)

[18] Corak penafsiran ilmiah, karena kemajuan ilmu pengetahuan secara modern.

[19] Corak fiqh/hukum, muncul dan berkembangnya ilmu fiqh dan terbentuknya madzab-madzab fiqh Islam.

[20] Corak tasawuf, muncul diawali dengan gerakan sufisme. (Lihat Jurnal Tsaqafah, Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran M. Qurasih Shihab…..h. 263)

[21] Jurnal Tsaqafah, Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran M. Qurasih Shihab, Vol.6, №2, Oktober 2010, h. 263–264

[22] Jurnal Analytica Islamica, Abdurrahman Rusli Tanjung, Analisis Terhadap Corak Tafsir al-Adaby al-Ijtima’I, Vol. 3, №1, 2014, h. 163

[23] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,……. h.73

[24] Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, …….. h.28

[25] Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i,…… h. 71–72

[26] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 9, ,…………. h. 144

[27] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9, ……….h. 145–146

[28] Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 37–38

--

--

Haris Fauzi
Haris Fauzi

No responses yet